Sudah tanggal 28 lagi. Tanggal tua yang membuat sebagian manusia merasa semakin tersiksa. Bagian dari hari-hari di akhir bulan di mana ruang gerak terus menyempit, seiring isi dompet yang makin sedikit.
Batinnya tak mau menunda. Sebagai manusia yang sudah menghabiskan sepertiga hidupnya sebagai pemulung, semenjak usaha warisan ayahnya hancur—padahal di masa jayanya perusahaan itu begitu besar dan menghidupi banyak orang, ia menjadi terbiasa dengan hidup susah dan kekurangan.
Ia sudah pernah mengalami kaya, lalu jatuh bangkrut dan kehabisan segalanya. Tak cuma ditipu rekanan yang culas, ia juga terancam masuk penjara karena kecurangan dalam proyek yang digarapnya. Kecurangan yang dipaksakan para kolega jahat yang memanfaatkan kepolosannya. Ah, itu masa lalu.
Bertahun-tahun, seiring usianya yang makin matang, pengalaman itu coba dilupakannya. Kesadaran pertamanya, adalah bahwa dunia bisnis yang digeluti ayahnya, bukanlah dunianya. Sejak kecil, ia lebih suka membaca dan tenggelam di samudera sastra.
"Kamu nanti kebanyakan mengkhayal, Dan ...."
Diam-diam, ia mengumpulkan buku-buku. Tentu dipilihnya hasil karya pengarang-pengarang kesukaannya. Yang terbanyak, adalah novel-novel detektif yang selalu membuatnya terkagum-kagum. Begitu rinci alur cerita, penokohan dan penyelesaian konfliknya. Ia menjadi terbiasa berpikir runut dan penuh perhitungan.
Selepas badai kehidupan, ia hidup sendirian. Istrinya lari dengan lelaki lain yang lebih kaya. 'Beruntung' ia belum dikaruniai anak. Di usianya yang hampir setengah abad, ia kini hidup mengontrak di sebuah rumah petak yang kumuh di pinggiran kota. Tak punya apa-apa dari kehidupan lamanya, selain sisa beberapa buku saja.
Rumah, tanah dan segalanya, habis diambil mereka yang mengaku pengatur neraca timbangan keadilan, yang bersekongkol dengan pembelanya yang ternyata diam-diam juga hanya menaruh minat pada sisa kekayaan ayahnya. Ternyata, cara berbisnis ayahnya tak hanya menghasilkan kekayaan yang luar biasa, tapi juga para hyena yang siap memangsa. Kesetiaan mereka hanyalah karena rasa haus akan persenan yang selalu dianggap kekecilan.
"Ambil saja semuanya, biarkan aku pergi. Ambil, ambillah ...!"
Ia memang marah saat itu, pada tanggal 28 terpenting dalam hidupnya, di sebuah tempat makan mewah—pasti ditagihkan padanya, yang penuh dengan aroma pengkhianatan. Para hyena mengerubunginya, sebagian melontarkan ancaman halus, sisanya pura-pura pasang badan sembari meminta bagian. Ia—sendirian, akhirnya habis kesabaran. Rasa muaknya bercampur dengan kemarahan yang berbulan-bulan terpendam.
"Silakan ambil semua yang kalian inginkan, selamat bersenang-senang. Hanya saja kalian ingat, aku tak akan jatuh sendirian!"
Ia melihat mereka terdiam. Tapi keheningan semu itu pecah menjadi tawa berkepanjangan, saat langkahnya baru saja di luar pintu restoran. Mereka tahu ia sudah tak punya apa-apa lagi.
Hidup di lingkungannya kini, membuatnya bergaul dengan banyak manusia dari kegelapan. Ia yang sudah lenyap dari percaturan, kini berada di kampung perbatasan dunia nyata dan lembah hitam. Maka, dua hari yang lalu, semua tabungannya berpindah ke saku seorang pelarian.
"Terima kasih sudah merawatku dan kasih uang. Tapi buat apa kamu membeli pistolku ini?"
Semua untuk hari ini. Setiap keping receh, saban lembar uang yang dikumpulkan. Semuanya untuk tanggal 28 ini, di bulan ini.
Ia menatap kumpulan foto pada tripleks bekas proyek yang kotor, dinding rumah kumuhnya di pinggir kali. Enam wajah yang amat dikenalnya tertempel di sana. Setiap ia mengenali salah satu wajah itu, pada koran bekas yang dipungutnya, diguntingnya lalu ditempelkan di dinding kamarnya. Kliping itu sudah lengkap beberapa waktu lamanya, tapi ia selalu bersabar.
Malam ini, senyumnya lebih bersinar daripada biasanya. Sembari mengelus pistol yang terisi penuh pelurunya, ia kembali melihat peta buatannya. Sudah ia pelajari segalanya. Tak sia-sia ia bertahun-tahun menjelajahi kota.
Ia selalu menikmati saat-saat merebahkan badannya yang lelah di malam hari, sembari menatap foto-foto itu, kumpulan foto para hyena.
No comments:
Post a Comment