• Cek Yuk!

    24 October 2020

    Gedombrang


    Sebenarnya ia malas melangkahkan kaki dan mengarahkan tujuan ke sini. Bukan, bukan karena tak suka mesjid, justru sebaliknya. Mesjid inilah yang paling disukainya. Dulu, hatinya bahkan selalu bersorak kalau datang ke sini, biasanya karena menerima undangan pertemuan rohis kampus. Tapi itu dulu.

    “Mut, ngapain sih ketemuannya di situ? Kayak nggak ada tempat lain aja.”
    “Ya, biar gampang aja, Del, mesjid itu kan yang paling aku hapal lokasinya. Lagian, aku udah lama gak ke tempatmu, lupa.”

    Huh. Share-loc kan bisa ….

    Ia tiba pukul 13.30 di pelataran Mesjid Al-Munawwar yang sejuk. Mesjid ini masih tetap seperti dulu, saat ia masih sering kemari, selalu membawa kedamaian. Banyak pengunjung yang datang dan datang lagi karena suasananya memang selalu membuat rindu.

    Kabarnya, mesjid ini dibangun pada tahun tujuh puluhan oleh seorang pengusaha saleh yang menginfakkan hampir seluruh hartanya. Tak lama sesudah masjid ini selesai dibangun, orang baik tersebut meninggal dunia.

    Hingga kini mesjid tersebut masih gagah berdiri, sebab konstruksinya benar-benar kokoh dan mampu bertahan hingga puluhan tahun kemudian. Para pengurus mesjid terus memelihara keaslian bentuknya yang unik, dengan dua menara kembar berwarna putih berpadu hijau pudar di bagian depan, serta taman yang lumayan luas dan rindang. Benar-benar oase nan damai di balik tembok pagar penghalang, pemisah dengan jalan raya yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan setiap harinya.

    Muti, sahabatnya sejak masa kuliah, pernah sama-sama aktif di rohis kampus, beberapa saat saja karena ia lantas memilih ‘keluar jalur’ dan lebih banyak berkumpul di komunitas pendaki gunung. Bukan hanya ia tak mungkin menolak permintaan Muti untuk dijemput, rasa kangennya pun sudah tak tertahankan untuk segera bertemu lagi dengan sobatnya yang baik hati dan lucu itu. Maka dibawanya motor skutik kesayangannya, meluncur ke mesjid yang sudah lima tahun terakhir tak dikunjunginya ini.

    Ah, andai Muti tahu apa yang pernah terjadi di taman ini ….

    Cukup sering dulu petemuan dilakukan di beranda mesjid ini. Meski jaraknya agak jauh dari kampus, pertemuan-pertemuan itu seingatnya tetap ramai diikuti para anggota. Belakangan ia sadar, diam-diam beberapa teman perempuan selalu berbinar-binar kalau Kak Razi, ketua rohis, mulai berbicara. Meski para mahasiswi tingkat satu dan dua itu berusaha keras menyembunyikan rasa, tapi ia tahu gejala itu. Tentu saja, karena ia juga termasuk yang mengalaminya. Beberapa kali, entah menyindir atau iri, kakak senior perempuan mengingatkan para anggota muda untuk tetap lurus menjaga niat.

    Menjaga hati? Kak Razi yang berkulit putih bersih, pintar dan berprestasi, adalah mahasiswa tingkat tiga di fakultas teknik. Calon arsitek. Bicaranya teratur dan suaranya enak didengar. Bukan hanya wajahnya yang good looking, bacaan tilawahnya juga membius semua orang. Ramah pula, tak terkesan ekslusif. Tak heran, fansnya berjubel tak ketulungan. Setidaknya, itulah yang ia simpulkan.

    “Mari kita niatkan pertemuan kita ini semata-mata untuk beribadah dan berbuat yang terbaik …,” ucapan Kak Razi di setiap pertemuan di beranda mesjid ini masih melekat di ingatannya.

    Bukan sekali dua kali, ia mendengar para pengagum berbisik-bisik sambil tersipu-sipu. Hatinya makin mengkeret, menyaksikan begitu banyaknya jumlah para pengagum itu. Namun, suatu hari tiba-tiba saja senior idaman itu menghampirinya sehabis pertemuan kepanitiaan di beranda mesjid ini.

    “Kamu udah pernah baca buku ini, Adel?” tanyanya.

    Alih-alih menjawab, ia hanya tentunduk dan wajahnya bersemu kemerahan. Beruntung tak ada lagi teman-temannya yang masih tersisa, sudah pulang sejak tadi. Ia masih menunggu Muti yang sedang ke belakang. Mereka berdua sudah sepakat hendak menghabiskan sisa sore di bakso langganan.

    “Be.. belum, Kak.”

    Sejak itu, entah bagaimana caranya, berbagai buku selalu dipinjamkan Kak Razi. Meski tak banyak bicara, ia tahu ada maksud di balik itu. Teman-temannya mulai ada yang berbisik-bisik, karena pastinya sempat juga ada yang melihat adegan ‘buku lagi-buku lagi’ pada akhirnya.

    “Dari semua anggota perempuan, kamu memang yang paling cocok buat Kak Razi. Paling cantik, anggun, pintar. Serasi kalau…,” suatu hari Muti tiba-tiba nyerocos seperti itu. Seperti biasa, ia langsung mendelik dan menutupi perasaan hati yang berbunga-bunga.

    “Apaan sih, kamu tuh, Mut? Ngaco aja!” bentaknya, tapi tak sungguh-sungguh.

    ***


    Sebenarnya, ia juga tak yakin sepenuhnya tentang perhatian Sang Ketua. Tak pernah ada kata-kata yang jelas tentang seberapa besar perhatian itu untuknya. Hanya saja, memang tak ada mahasiswi lain yang diperlakukan seperti dirinya oleh pemuda itu. Paling tidak, itu yang diketahuinya. Muti terus-terusan meyakinkan bahwa Kak Razi ada perhatian, ada maksud dan bla-bla-bla. Tapi ia selalu menolak mengakuinya, meskipun bukannya tak menginginkannya.

    Apalagi suatu saat pemuda itu meminjamkan buku tentang persiapan pernikahan untuk muslimah muda dan seputar walimatul ‘ursy, sebuah pemilihan buku yang sangat membingungkan baginya. “Kamu tahu, Adel,” kata Kak Razi saat menyerahkan buku itu, “keyakinan itu bisa menjadikan sesuatu yang sepertinya mustahil menjadi mungkin dan jadi kenyataan.”

    “Biarpun sesuatu itu masih mengandung banyak pertanyaan, Kak?” tanyanya spontan. Pertanyaan yang sempat disesalinya.

    “Nih, aku pegang botol kosong ini,” ucap Kak Razi sambil mengangkat botol minuman yang sudah kosong di tangannya, membuat jentungnya berdegup kencang karena senyum pemuda itu begitu manis dan sinar matanya berbinar-binar penuh semangat. Janggut tipisnya membuat wajah itu tampak gagah dan lebih berwibawa.

    “Aku akan lempar botol ini, dan…,” tangan pemuda itu mengayun menirukan gaya pebasket melempar bola. Botol minuman itu benar-benar masuk ke dalam tong sampah di pinggir jalan keluar, beberapa meter dari tempatnya berdiri.

    Itulah pertemuan terakhirnya dengan Kak Razi. Pemuda itu tiba-tiba saja tak lagi memperhatikannya beberapa saat kemudian. Ia sadar sang ketua banyak kesibukan, kuliahnya pun sudah memasuki tahap akhir. Maka ia hanya diam menunggu. Penantian yang akhirnya berbuah kekecewaan yang mendalam. Selang beberapa waktu, kabar walimah merebak dan menjadi pembicaraan di kalangan terbatas. Ia terhenyak. Rasa kecewa lantas mengajaknya berganti haluan, bergabung dengan mapala dan akhirnya semakin nyaman bersama alam yang tak pernah memberinya kepalsuan dan penipuan.

    ***


    Ia memilih duduk di bangku taman, dekat pelataran sebelum tangga naik untuk masuk ke bagian dalam. Jamaah biasanya berpisah di dekat tangga ini, laki-laki ke sayap kanan masjid untuk menuju tempat berwudhu atau kamar kecil, sementara yang perempuan ke sayap kiri. Kedua sayap itu juga punya tangga masing-masing yang memberi jalan untuk jamaah langsung ke atas. Ruangan utama mesjid berada di lantai atas, sementara lantai dasar diisi beberapa kantor, sekretariat, ruang TPA dan lain-lain.

    Pukul 13.50. Sudah lebih dari seperempat jam ia menanti. Mesjid sudah mulai sepi dari pengunjung, hanya satu dua orang saja yang datang bergantian untuk menunaikan salat zuhur. Ia melihat lagi ke arah pintu masuk di ujung halaman, tapi belum juga menemukan sosok Muti sahabatnya yang datang. Botol minumannya sudah tinggal separuh isinya.

    Ia mengeluarkan buku bacaan yang masih beberapa bab lagi untuk dituntaskan. Bertahun-tahun terakhir ini, buku menjadi sahabat yang tak pernah mengecewakannya, selalu dibawa ke manapun ia pergi. Buku apapun yang disukainya, jadi teman perjalanannya. Kadang di saat seperti inilah buku menolongnya.

    “Kucing jahat, kucing nakal…!”

    Tiba-tiba suara kecil itu mengusik keasyikannya membaca. Ia mencari-cari sumber suara dan segera menemukan di sebelah kanannya, di dekat tembok sebelah timur mesjid, seorang anak laki-laki seusia PAUD sedang menyentuh-nyentuhkan ujung sepatunya ke anak kucing berwarna hitam kusam. Bukan tendangan sungguhan, tapi anak kucing itu ketakutan. Mungkin anak kucing yang tampak lemah itu terpisah dari induknya.

    Beberapa meter dari anak yang berkulit putih bersih tersebut, seorang perempuan berkerudung putih sedang duduk dan menunduk di atas bangku taman, bertilawah perlahan-lahan dengan khusuk dan penuh penghayatan. Sang ibu tampak menengok sebentar ke arah anaknya yang masih terus mengatakan ‘kucing jahat’, tapi lantas melanjutkan bacaannya.

    Gemas sekali rasanya. Jika saja ia tak memikirkan ada orang lain, mungkin perempuan yang sedang tilawah itu adalah ibunya yang lebih berhak mendidik dan mengajarkan kasih sayang, rasanya ingin dijewernya kuping anak tersebut. Sebagai pecinta kucing, ia merasakan dadanya sesak melihat makhluk kecil tersebut yang tak berdaya dan ketakutan. Anak kucing tersebut sudah tak lagi bersuara, sampai-sampai ia sedari tadi tak menyadari keberadaannya. Tapi si anak kecil tak juga berhenti mengusiknya. Kucing kecil sudah tersudut di antara pot bunga, menempelkan badannya ke tembok pagar mesjid, makin ketakutan.

    Ia tak tahan lagi dan menyimpan novelnya ke dalam tas, lalu bangkit mendekati ibu anak tersebut.

    “Bu, maaf … itu anaknya mau nendang kucing.”

    Perempuan di hadapannya, menghentikan bacaan, tapi tak menjawab sedikit pun tegurannya. Perempuan itu hanya melihat ke arah anaknya. Astaga, pekiknya dalam hati. Padahal ia merasa sudah menyapa sesopan mungkin.

    “Nak, sini …,” panggil ibu muda tersebut. Anaknya tak bergeming, tetap berada di tempatnya mengancam anak kucing yang malang. Ajaibnya, sang ibu tak berbuat lebih jauh, kembali tenggelam dalam kekhusukannya melanjutkan bacaan.

    Hampir meledak kemarahannya menyaksikan respon sang ibu. Luar biasa membingungkan baginya, menyaksikan tindakan abai seorang ibu dalam menjaga sikap anaknya pada binatang yang lemah. Mengapa pula anak sekecil itu tidak punya perasaan kasihan pada binatang? Sungguh di luar nalar, sementara agama selalu mengajarkan kasih sayang pada seisi alam.

    Ia hendak menuju ke arah kucing yang malang, ketika sesosok laki-laki berbaju koko putih keluar dari sayap kanan dan langsung berjalan menuju si anak kecil. Bapaknya, rupanya. Ia mengenal sosok itu lebih dari sosok siapapun.

    “Kucing jahat, kucing nakal…!”

    Suara anak kecil itu malah menjadi-jadi saat bapaknya datang. Seolah ingin memamerkan kehebatannya dalam mengintimidasi anak kucing yang ketakutan.

    “Pak, itu anaknya mau tendang-tendang anak kucing, apa gak punya rasa kasihan ya, Pak?” terhamburlah sudah kemarahan yang ditahannya sejak tadi. Ibu si anak nampak kaget dengan nada suaranya yang meninggi, tapi ia tak peduli. Sementara wajah bapak si anak yang putih bersih dan penuh karisma, tiba-tiba bersemu merah. Lalu pucat saat menyadari wajah pemilik suara yang menegurnya.

    Lelaki itu tak menjawab apa-apa, tampak kaget dan kebingungan. Ia menoleh pada istrinya dan memberi isyarat untuk pergi cepat-cepat. Ditariknya tangan anaknya yang masih enggan pergi dan ingin bersenang-senang dengan menakut-nakuti anak kucing yang malang.

    Ketiganya berjalan ke arah pintu keluar area masjid. Tepat ketika mereka sedang menuju gerbang itulah, ia melemparkan botol minuman yang masih separuh terisi ke dalam tong sampah. Gedombrang! Tepat, masuk ke dalam. Lelaki berjanggut tipis itu terhenti, diam sejenak, lalu melanjutkan lagi langkahnya tanpa menoleh sedikit pun.

    Saat itulah, Muti muncul di pintu gerbang dan meneriakkan namanya dari kejauhan.

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi