• Cek Yuk!

    20 November 2020

    Perjumpaan di Sebuah Taman


    Alka tak dapat menahan perasaannya lagi saat tiba di area amphiteater. Suasana taman yang asri tapi sepi segera menghanyutkan perasaannya ke ruang batin yang makin sunyi. Hanya ada dirinya di antara jejeran bangku-bangku yang kosong. Kesendirian yang sejak semalam menjadi pengungkit keresahan, kini berubah menjadi kehampaan yang mencekam. Ia benci mengakui bahwa ini pernah terjadi, dan kini harus mengalaminya lagi.

    Sesekali pengurus taman dan pengunjung lain melewati jalur pejalan kaki di dekat bangku yang didudukinya. Ia tak ambil peduli, tak menoleh dan tak merasa terganggu. Tetap duduk tenang ─nyaris tak bergerak, menatap dengan pandangan kosong ke arah kolam yang airnya sedang surut. Sebenarnya ini kolam yang indah, perpaduan antara aliran air yang cukup jernih, beberapa bunga teratai yang sedang mekar dan bebatuan yang tertata apik. Hanya saja ia tak mampu menikmatinya. Dua pasang mata memperhatikannya dengan pandangan tajam dari dekat pohon besar di seberang kolam, tapi lagi-lagi ia juga memilih tak peduli.

    Kegetiran sedang mencengkeram keseluruhan ruang batinnya. Ia sengaja memilih duduk di bangku bibir kolam, agar tak ada yang memperhatikan wajahnya dari dekat. Tak ada yang boleh tahu matanya mulai sembab. Ia lantas duduk termangu menanti waktu, seperempat jam lamanya. Tisu yang dipakai untuk menghapus air matanya kini sudah habis, sementara kesedihannya tak juga berkurang.

    “Aku ingin menemuimu lagi besok pagi, Alka. Sebelum aku pulang.”
    “Iya, Ka. Aku pasti datang di taman sebelum pukul delapan.”


    Pesan itu diterimanya tadi malam, saat ia baru saja hendak memejamkan mata, berharap masih bisa terlelap sambil memeluk sedikit sisa kebahagiaan. Pertemuan kemarin siang dengan Devan memberinya luapan kebahagiaan, sebuah perasaan luar biasa yang tak pernah dibayangkan akan didapatkannya lagi dan seolah mengakhiri penantiannya yang panjang selama bertahun-tahun belakangan. Pertemuan itu menggenapkan hidupnya yang selama ini tak seimbang. Ia merasa utuh lagi, menjadi manusia lagi. Ia bahkan terlalu bahagia untuk dapat membuat gambaran yang lumayan mendekati tentang suasana hatinya.

    ***

    Lima belas tahun lalu ia dan Devan bersepakat bahwa hidup begitu sempurna. Hari demi hari dilalui berdua dengan senyum, canda dan manja sebagai rasa syukur atas kebaikan semesta. Semua bilang Alka dan Devan adalah kesempurnaan langka yang masih tersisa, bertahan sekian lama dan tak pernah terlihat bermasalah apa-apa.

    Hingga suatu hari di ujung bulan Oktober, sekelompok orang mendatangi Devan di kamar kontrakannya yang mungil, mendobrak pintunya dan menyeret kekasihnya itu ke halaman dengan pisau terhunus, membiarkan tetangga-tetangga kamarnya hanya mampu menonton saja, sebab beberapa tamu tak diundang itu menunjukkan gagang pistol menonjol di balik celana. Devan, menurut tetangganya, diseret ke ujung gang dan dipaksa untuk masuk ke dalam mobil van. Ajaib, dia bisa lolos dari para penculiknya dan melarikan diri ke arah pasar kumuh tak jauh dari lokasi kamar kontrakannya.

    Alka tak pernah tahu Devan bisa terlibat masalah seperti itu. Kekasihnya yang kalem tak pernah membuka terlalu jauh tentang keluarganya. Ternyata tak lama sebelum kamarnya didatangi para preman itu, rumah keluarganya didatangi orang-orang yang diduga berasal dari kelompok yang sama. Ayah Devan, seorang komisaris polisi yang lurus, sudah banyak menggulung penjahat sejak awal karirnya, tapi bersinggungan dengan dunia mafia memberi akibat yang sangat fatal.

    Selain Devan, tak ada anggota keluarganya yang selamat dari pembantaian yang menggegerkan seisi kota. Sejak itu Devan menghilang, tapi pengusutan pembantaian keluarganya tak pernah menemukan titik terang, seolang menghadapi dinding baja yang amat tebal. Alka tak pernah mendapat telepon lagi, tapi sempat menerima kertas kecil yang tiba-tiba ada di dalam kamarnya. Sebuah surat tanpa nama pengirim, tapi ia tahu itu tulisan kekasihnya, berisi permintaan maaf karena meninggalkan dirinya dan tak akan kembali. “Kamu berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dariku,” tulis Devan. Alka meradang, menangis berhari-hari dan perlahan mulai berubah menjadi pemurung.

    Beberapa teman yang kenal sempat menemukan Devan dalam keadaan yang samasekali lain, kacau dan berantakan, dalam beberapa tahun kemudian. Mereka melaporkan hal itu pada Alka yang lama kelamaan selalu menanggapi dengan dingin dan tak berkomentar apa-apa. Muncul pula berita ditemukannya mayat-mayat tokoh penjahat yang diduga pernah berurusan dengan ayah Devan. Seorang di antaranya bahkan suatu saat ‘dikirim’ dalam keadaan terikat dan penuh tusukan, di dalam sebuah mobil boks yang diparkirkan di depan salah satu kantor polsek, diduga datang selepas tengah malam.

    ***


    Terpisah karena Devan harus menyelamatkan diri dari ancaman, membuat hidup Alka berubah seratus delapan puluh derajat. Perpisahan itu terjadi di tengah-tengah luapan perasaan sayang yang membuatnya merasa menjadi perempuan paling bahagia. Devan begitu lembut dan selalu mengerti cara membuatnya nyaman. Namun tiba-tiba pemuda itu menghilang. Rumahnya dibakar, orang tuanya dan saudara perempuannya terbunuh, bahkan ia sendiri nyaris menjadi korban.

    Alka semakin menutup diri dan jadi pemurung. Pandangannya tentang hukum dan keadilan sudah lain samasekali. Ia merasa tak sanggup hidup nyaman dan bersenang-senang semantara Devan ada di dunia yang kelam dan entah masih hidup atau tidak.

    ***

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi