• Cek Yuk!

    22 November 2020

    Rindu yang Diam


    Sudah sebulan terakhir ini Dewa terus menghubunginya. Tidak tiap hari, tapi cukup sering dan lama-lama membuat Nayara kepikiran juga. Pertanyaan laki-laki itu sama, “Kamu rindu aku tidak?” Biasanya ia cuma diam dan mengalihkan pada pembicaraan lain.

    Ia sendiri sebenarnya merasa tak jelas bersikap, sebab kenyataannya tak pernah lantas menutup telepon. Ia bahkan terus menikmati pembicaraan yang lebih sering tak jelas topiknya. Tak hanya itu, ia tak bisa membohongi diri sendiri, sering menunggu suara Dewa muncul lagi di telepon berikutnya.

    Masih rindu lelaki itu? Ia sudah berusaha melupakan kisah lama, tapi juga tak kuasa melawan suara hatinya yang makin berisik menyuruhnya menjawab apa adanya.

    Siang ini, panggilan telepon itu masuk lagi. Dewa memang sudah tahu ia hanya bisa dihubungi di jam makan siang. Kadang ia meladeni obrolan ngalor-ngidul itu sambil ngemil makan siangnya yang tak pernah banyak. Kebiasaan makannya itu sering diejek teman-teman sekantornya. Tapi ia enjoy saja, selagi tetap sehat dan kuat bekerja. Menjaga asupan sudah menjadi kewajiban utamanya.

    “Kamu tetap ga mau jawab pertanyaanku, Nay? Masih rindu aku, kan?”

    Sampai juga ke bagian pertanyaan itu. Sudah tak terhitung lagi berapa kali Dewa menanyakan hal yang sama. Nayara hanya tercenung sembari menatap lalu lintas di Jalan Sudirman yang ramai di bawah sana. Ia sangat menikmati pemandangan itu sendirian dari lantai 18 gedung tempatnya bekerja, apalagi jika jadwal lembur memaksanya bertahan sampai waktu malam tiba. Pemandangan lalu lintas malam bisa mengalihkan perhatiannya dari bayangan lelaki yang telah membawa pergi separuh dirinya entah ke mana.

    Hampa. Kehampaan lah yang telah membuat Nayara menyadari bahwa suara Dewa bagai hujan menyirami Sahara. Tetiba banyak tunas harapan yang bermunculan di hatinya, tapi tak sanggup diungkapkannya. Mengucapkan jawaban bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana. Sebaliknya, itu terasa sangat menyiksa dan hampir mustahil untuk dilakukannya.

    “Nay?”

    Ia segera mematikan telepon. Suara itu tetap menggetarkan jiwa. Lembut, hangat dan ramah. Hampir saja dulu ia membuat prasasti untuk menunjukkan Dewa memang lelaki sempurna pilihannya. Ia bahkan pernah bertekad tak akan pernah menyerahkan dirinya, kecuali pada cowok kalem yang digilai banyak kaum hawa sebayanya itu, waktu masih kuliah di kampus dulu.

    "Rindu memang tak selalu sanggup kuungkapkan dan aku pun tak punya banyak waktu lagi untuk membisikkan. Namun, kapan pun kau mau datang dan menanyakan, aku akan ada di sini dan tetap hanya punya satu jawaban," keluhnya dalam hati. Ada sesuatu yang memang sudah mengeras dan membeku di sana.

    Tepat seminggu sebelum Dewa mulai menghubunginya, Citra mengabarinya. Sahabatnya itu sudah seperti saudara baginya, sangat baik dan ketulusannya luar biasa.

    “Nay, aku baru pulang jenguk Mama. Masih inget sepupuku Dewa kan? Pasti lah, ya. Cuma ngasih tau, dia lagi down banget baru ditinggal pacarnya.”

    Saat itu ia tak berkomentar apa-apa. Hanya saja langsung teringat pada sosok cowok putih bersih dan rapi yang pernah dilihatnya jalan bersama Dewa, memegang lengannya dengan manja, beberapa minggu sebelum lelaki itu meninggalkannya tanpa bicara apa-apa.

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi