Banyak yang bisa kuceritakan tentang Neknang, tapi biarlah satu serpihan saja yang kuceritakan padamu, cucuku, dari mozaik kenanganku bersama beliau, yang begitu indah dan tak terlupakan hingga sekarang. Iya, betul, Neknang adalah kakekku, ayah dari ayahku, atau ayah dari kakek buyutmu. Betul, yang fotonya masih ada di buku album keluarga kita, tapi sudah kurang jelas karena berjamur.
Aku sendiri sebenarnya jarang berjumpa dengan Neknang, sebab rumahnya di Sekayu sana, dan ayahku, iya kakekmu, tinggal di Jakarta ini sejak muda, dan akhirnya menikah dengan nenekmu yang orang Bandung. Hanya sesekali saja aku berkunjung ke rumah Neknang, dibawa ayahku di saat liburan. Kalau liburan cukup panjang, aku dititipkan. Saat itulah, saat liburan di sana, aku menikmati kasih sayang Neknang yang luar biasa. Oya, Neknang ini hidup sendirian, sebelum aku dilahirkan pun istrinya sudah dipanggil oleh Tuhan. Meski begitu, ada anak-anaknya, adik Ayah, yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Sesekali Ayah berkirim surat pada mereka, menanyakan kabar dan menitipkan uang. Aku sering mengirimkan surat itu ke kantor pos.
Aku mengenang Neknang sebagai laki-laki berambut putih, tinggi seperti kakekmu, gagah dan jalannya cepat. Wajahnya bersih, agak kuning langsat dan matanya cenderung sipit. Sudahlah, kamu bayangkan saja kakekmu ya, adik kandungku, mereka mirip sekali.
Begini ceritaku tentang beliau yang harus kukabarkan padamu, nak. Kamu boleh dengarkan sambil tiduran, sambil rebahan, tapi jangan sampai tak menyimak baik-baik. Sepakat ya?
Angin menebak rambutku yang cukup panjang, saat itu. Kami bertiga berjalan beriringan di jalan setapak yang masih basah akibat hujan semalam. Aku membuntuti Neknang, lalu diikuti ayahku di belakang. Kami tak banyak bicara, sebab tiba-tiba aku merasa tegang dan agak ketakutan.
“Buat apa takut?” tiba-tiba saja Neknang bicara begitu, seolah merasakan apa yang kurasakan. Konon, orang tua itu memang bukan ‘orang sembarangan’, meskipun aku tak tahu apa maksudnya.
Aku hanya diam, menghitung langkah di belakangnya. Langkah yang terhenti saat Neknang berhenti di tengah-tengah lapangan rumput yang cukup panjang, lahan peninggalan leluhur yang menjadi tempat bermainku kalau sedang berlibur di Sekayu.
“Kamu sudah sering main di sini,” Neknang tersenyum dan memegang bahuku dengan lembut, “Ah, neknang teringat lagi, kamu memang benar-benar makin mirip nenekmu.” Senyumnya makin merekah, sementara aku tersipu-sipu. Kabarnya, istri Neknang adalah perempuan paling cantik di wilayah ini.
“Kamu lihat,” Neknang menunjuk ke arah rumah dan ke arah tujuan, “di sini, di tanah leluhurmu, hanya ada dua jalan saja sebenarnya, ke laut atau ke darat. Kita harus selalu mengingat itu, kita itu mau ke mana? Punya tujuan apa? Jangan berjalan tanpa arah, tanpa kepastian. Kalau sudah yakin, kamu akan tenang, tak akan takut lagi.”
Entah kenapa ucapan Neknang begitu membekas, seperti rekaman film yang begitu jelas, setiap kuingat perjalanan bertiga di pagi itu. Aku bahkan masih bisa mengingat senyumnya saat mengucapkan kalimat itu. Tiba-tiba saja rasa malasku saat akan berangkat, protes dan tangisku pada Ibu, serta keluh kesahku di perjalanan, akhirnya menjadi penyesalan. Neknang tersenyum dan menepuk-nepuk pundakku, lalu mengajak kembali berjalan. Ayah memelukku dari belakang dan mencium keningku penuh sayang.
Aku baru berusia 13 tahun, baru saja mengalami menstruasi pertama beberapa bulan yang lalu. Sejak baligh itulah sesuatu terjadi pada punggungku, sungguh mengganggu dan menyiksa, semacam penyakit kulit langka yang membuatku kadang tak dapat tidur di malam hari.
Ayah dan ibuku sudah berkali-kali mengajak ke dokter, bahkan ke dokter spesialis, untuk mengobati penyakit itu. Nihil, hasilnya hampir tak ada. Memang obat-obatan salep dan pil itu memberi pengaruh, tapi hanya sebentar saja. Setelahnya, kulitku kembali menunjukkan tanda-tanda itu: seperti mengeras dan terasa gatal. Saking gatalnya, aku sempat menggaruk hingga berdarah dan ibuku menangis karena tak tega. Ayah dan Ibu terus mencari jalan pengobatan, hingga suatu malam menanyaiku di sambil makan malam di ruang tengah.
“Kamu kangen Neknang, nak?” tanya Ayah sambil tersenyum menatapku. Senyum Ayah seperti biasa selalu menenangkan, sangat mirip senyum Neknang.
Aku hanya terdiam, sebab pertanyaan itu biasanya menyiratkan rencana pergi menjenguk Neknang ke Sekayu. Rencana yang biasanya disembunyikan dariku dan adik-adik, dan baru dibuka pada saat yang dirasa tepat, seperti malam itu, saat semua ujian sudah selesai dan hanya tinggal menunggu pembagian rapor saja.
Bukannya tak rindu Neknang, sama sekali bukan. Masalahnya, saat itu hampir setiap malam aku merasakan penderitaan akibat sakit kulit di punggung. Tak terbayang, jika harus berlibur dengan kondisiku yang seperti itu. Sakit gatal itu akan berlipat-lipat kali terasa menyiksaku jika sedang menstruasi, hingga aku mataku sembab karena menangis dan sama sekali tak bisa tidur. Aku bertekad menolak ikut.
Apa daya, tiga hari kemudian, kami sudah dalam perjalanan melintasi Selat Sunda dan menuju Pulau Sumatera. Ayah membawaku dan dua adikku yang masih kecil-kecil. Ayah tak mengajak Ibu yang harus tetap menjaga toko. Ibu berulang kali memintaku menjaga adik-adik, sebab, “Sekarang kamu sudah besar, nak, harus bisa jaga adik-adikmu, ya!” Lengkap sudah, aku akan menikmati liburan yang tambah menyiksa, sebab tanpa sedang merasakan sakit pun mengurusi dua adik yang kerap berantem itu sudah sangat memusingkan. Dani, kelas 5 SD begitu jahil dan menyebalkan pada adiknya yang baru kelas 3 SD dan sangat manja.
Jujur saja, itu pengalaman ke rumah Neknang yang rasanya paling lama sepanjang hidupku. Rasanya tak sampai-sampai, lambat dan menyiksa. Aku cemas setiap menghadapi malam, tapi untungnya sakit di punggungku tak terasa begitu parah. Mungkin juga perhatianku teralihkan oleh suasana perjalanan yang begitu enggan kuikuti. Ayah berkeras mengajakku, sebab ia rindu pada ayahnya dan merasa tak enak jika tak mengajakku, cucu kesayangan Neknang.
Kami sampai sekitar pukul sembilan malam, saat jalan mulai sepi dan jarang terlihat orang. Anehnya, banyak orang di teras rumah kakekku itu, para tamu yang sama tuanya dengan Neknang. Mereka seperti sudah menunggu, padahal aku yakin Ayah tak berkabar apa-apa. Belum ada telepon di rumah kayu Neknang yang sederhana itu.
Ayah pun ikut terkejut saat melihat para orang tua itu berkumpul di teras rumah. Ia mencium tangan mereka dan memeluk Neknang erat-erat. Aku selalu bisa merasakan, betapa Ayah sangat hormat dan sayang pada Neknang.
Kami tak diperkenankan bergabung dalam obrolan. Neknang menyuruh Ayah mengajakku dan adik-adikku, yang sangat kelelahan, untuk beristirahat saja. “Besok saja kita bercakap-cakapnya, ya, Ayuk!” ucapnya sambil tersenyum padaku.
Kami sampai di bibir Sungai Musi yang indah, yang sudah lama tak kukunjungi. Neknang langsung mengajakku le bagian yang landai dan biasa kupakai bermain sewaktu kecil. Tak biasanya, Neknang yang biasanya sering mencandaiku, saat itu wajahnya sangat bersungguh-sungguh. Ia berjongkok sambil memegang tanganku dengan tangan kirinya, lalu tangan kanannya menyentuh permukaan air. Mulutnya mulai merapal doa dan permohonan, dalam lagu yang kukenal sejak kecil. Alunan nada itu sering disenandungkannya kalau aku susah tidur karena teringat Ibu dan Ayah di Jakarta.
Ia merapal lagi beberapa doa, entah apa, lalu menyodorkan bungkusan yang sejak tadi dibawanya dari rumah. Sambil tak paham, kuterima bungkusan itu dan membukanya. Sebuah kain sarung yang anehnya berwarna putih polos, membuatku sedikit merinding, sebab ada wangi bunga melati menyeruak dari kain tersebut.
“Kamu pakai dulu kain itu, macam bersarung seperti biasa, lalu Neknang temani kamu mandi di sini, hanya sebentar saja, asal seluruh tubuhmu basah,” ucap Neknang sambil tersenyum. Tak menunggu jawabanku, tubuhnya sudah masuk ke dalam air dan ia memberi isyarat agak aku ikut bersamanya.
Sungai Musi menyimpan banyak cerita. Aku ada di dalam kumpulan kisahnya. Pagi itu, seusai didoakan Neknang, aku mandi dan harus melepas semua pakaianku. Aku pulang gemetaran dengan hanya bersarung putih, dikawal Neknang yang mulai mencandaiku, dan Ayah yang masih nampak bingung.
Selepas mandi itu, setiba di rumah, cuaca menjadi cerah. Aku disuruh Neknang duduk berjemur di depan rumah, sampai badan dan kain putih itu mengering. Kain itu tak boleh dibuka hingga tengah hari, ucapnya tanpa menjelaskan kenapa. Aku sendiri masih syok dan tak bisa bicara, ditemani Ayah yang tampak khawatir, sehingga berkali-kali ditenangkan Neknang.
Barulah sesudah tengah hari, sesudah aku mandi sebersih-bersihnya, dan berganti baju, kami berkumpul di ruang tengah. Ayah tampak lebih tenang sesudah salat bersama Neknang. Adik-adikku tak nampak, sepertinya asyik bermain bersama sepupu-sepupunya yang usianya sebaya, di dekat kandang ayam, ditemani paman dan bibi yang sesekali terdengar tertawa.
“Tiga hari sebelum kalian datang,” suara Neknang terdengar bening menenangkan, “tiba-tiba kucium wangi melati dari lemari tua peninggalan leluhur kita. Saat kuperiksa, ternyata kain sarung itu ada di situ. Lima puluh tahun yang lalu, kucium wangi itu juga di situ. Neknang-ku yang mengambil kain itu, lalu memandikan ayuk-ku di Sungai Musi, seperti tadi.”
“Kamu keturunan keenam dari nenek moyang kita yang dulu menguasai semua buaya di wilayah ini. Sebelumnya, mereka selalu menyerang penduduk dan banyak makan korban. Konon, perdamaian akhirnya dapat terwujud setelah ada sebuah janji perkawinan yang terlarang. Tapi, setelah semua buaya tunduk, moyang kita sadar bahwa itu bukan sesuatu yang disukai Tuhan. Akhirnya, ia memilih berpisah, tetapi ratu buaya tak suka dan memberi kutukan sampai tujuh turunan. Kamu keturunan keenam dari garis moyang kita yang mengalami sakit kulit di punggung seperti itu. Tidak semua sanggup menahan sakit itu. Ada juga cerita tentang leluhur kita yang memilih lari ke sungai, dan tak pernah kembali, karena tak tahan menanggung sakitnya. Ada yang bilang, sakit itu peemulaan dari ... perubahan bentuk.”
“Astaga, asalnya kupikir itu hanya dongeng saja, Ayah,” ayahku menyela cerita Neknang sambil terlihat agak pucat.
Neknang tiba-tiba saja tertawa.
“Kau ini…, ya tentu saja itu hanya dongeng, ha ha ha. Jangan mau dibuai dongeng dan kisah lama. Sebenarnya ini amanah dari Tuhan, biar kita semakin cinta pada sungai ini. Musi ini sumber kehidupan, beribu-ribu orang bergantung padanya dari zaman ke zaman, tapi seolah semakin dilupakan. Orang berlaku serampangan, tak mau bicara kelestarian. Padahal, sungai ini jiwa kita, hidup kita, keajaiban untuk kita. Kesembuhan kita.”
Tiba-tiba aku tersentak. Rasa panas dan gatal di punggungku sudah tak terasa lagi. Samasekali tak ada sisanya. Aku berlari ke dalam kamar, mencari-cari kain sarung putih yang tadi kusimpan di dekat kasur. Nihil, tak ada. Aku terus mencari sambil mulai menangis, sampai akhirnya aku kembali ke ruang tengah.
Ayah memandangku, tak berkedip, lalu hampir terlonjak menghampiriku dan mengusap punggungku perlahan. Aku mengangguk padanya, memastikan sebuah keajaiban yang tak pernah kubayangkan. Aku menceritakan tentang sarung itu, tak selesai karena segera dipeluknya. Ayah mengecup keningku berulang-ulang. Tak sungkan, ia biarkan ari matanya mengalir ketika memelukku. Aku ikut menangis di bawah tatapan Neknang yang tersenyum sambil membaca pujian-pujian bagi Sang Penguasa Alam.
“Neknang, tadi aku ...,” bibirku mendadak gemetar dan berhenti bicara. Orang tua itu tersenyum dan aku menghambur ke dalam pelukannya.
“Orang yang kedinginan karena mandi di sungai, kadangkala berkhayal macam-macam,” katanya sambil mengelus rambutku. Aku terdiam. Yakinlah aku, bahwa Neknang juga melihat seekor buaya putih berukuran besar saat kami pulang. Mata buaya itu menangis saat menatapku, seperti layaknya mata yang tak rela kala ditinggalkan.
Itulah, cucuku, ceritaku padamu. Sekarang, kamu paham apa yang harus kita lakukan. Pamanku, atau masih kakek buyutmu, masih hidup dan sehat. Dia sengaja kuundang ke sini tadi malam. Kukatakan padanya bahwa kain sarung putih yang berwangi melati sudah muncul lagi tiga malam yang lalu. Kutahu kamu bakal datang, cucuku. Kamu keturunan terakhir yang harus menyempurnakan kesetiaan pada Musi yang semakin merindukan.
No comments:
Post a Comment