Malam sudah semakin larut, ketika tiba-tiba saja listrik di rumahnya padam. Ia terkejut, lalu segera bangkit berdiri, menyibak sedikit gorden, dan mengintip ke luar melalui kaca jendela. Rumah-rumah tetangga tetap terang-benderang, hanya di rumahnya saja yang disergap kegelapan. Di dalam kamar yang jadi temaram, di atas tempat tidur, dua sosok mungil terlihat sudah terlelap berdekatan.
Terpaksa ia berjinjit menuju pintu kamar, hendak menyalakan lagi listrik yang bermasalah. Namun, baru saja beberapa langkah, Neva, anak bungsunya yang baru berusia 2 tahun, tiba-tiba menangis keras. Mungkin karena kipas angin mati dan udara menjadi terasa panas, atau digigit nyamuk yang kegirangan karena tak ada hembusan. Jovan, kakak laki-lakinya yang berusia 5 tahun, ikut terbangun.
“Kok gelap semua, Ma?” anak itu tampak kebingungan.
“Sebentar, kamu jagain adek ya, Mama ke luar dulu nyalakan listrik.”
Sekejap kemudian, lampu-lampu sudah menyala lagi. Ia mengecek ke belakang dan segera mencium bau gosong dari dekat sumur. Persis seperti yang dikuatirkannya, masalahnya berasal dari pompa air, tampaknya mengalami korsleting. Ia segera mencabut kabelnya dan dan mulai cemas. Sejak beberapa hari yang lalu pompa itu jadi kasar bunyinya, dan ia menduga itu akibat air sumur sudah berkurang karena pengaruh musim kemarau.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam lebih sedikit. Suara tangis Neva makin menjadi-jadi. Ia sedang setengah berlari ke kamar, saat menyadari bahwa pintu depan masih terbuka. Tiba-tiba, mulutnya hampir memekik ketika melihat sesosok bertubuh gempal sedang tersenyum di depan pintu ruang tamu, menatap nanar ke arahnya dengan mata berkilat-kilat. Sekilas saja ia dapat menduga, lelaki bermuka kehitaman dan berminyak-minyak itu sedang mabuk lagi.
“Halo, mbak ... Sepertinya ada masalah ya? Tadi lampunya padam?” suara tamu tak diundang yang sember itu, seperti biasa, dibuat seramah mungkin. Ia mendengarnya dengan sebal. Sementara, tangis Neva tak juga berhenti.
“Nggak apa-apa, Pak, ini sudah nyala lagi, kok,” ia mencoba tetap ramah, tahu diri sebagai tetangga yang baru beberapa saat saja pindah.
“Biar saya cek ya, mbak, mungkin ada … ada yang korsleting mungkin,” tiba-tiba saja tubuh itu maju selangkah ke dalam ruang tamu. Ia hampir membentaknya, melihat ketidaksopanan itu. Tetangga pemabuk itu sedang terus-menerus menatap ke arah tubuhnya, saat Jovan tiba-tiba keluar dari kamar, sambil mengucek-ngucek matanya. Tamu kurang ajar itu urung maju dan tertegun melihat Jovan yang langsung memeluk tubuh ramping ibunya, sambil terkantuk-kantuk.
“Paaak!” suara melengking terdengar dari rumah seberang, berasal dari seorang perempuan bertubuh besar yang sedang melotot dan menahan geram. Lelaki kurang ajar itu tampak pucat dan mundur, lalu berlalu tanpa pamit.
“Apa, brengsek? Berisik!” suara gerutuan lelaki itu masih nyaring terdengar olehnya, di antara senyapnya malam.
Dilihatnya, tetangga yang sering jelalatan itu, dan sering menggodanya saat sedang membeli sayur di pagi hari, tubuhnya sempoyongan dan hampir menabrak seorang laki-laki ber-wearpack abu-abu dan bertopi hitam, yang sedang bergegas dari arah berlawanan.
“Apa lu?” bentak lelaki pemabuk.
“Maaf, pak, ini mau membetulkan pompa di rumah ibu itu,” lelaki berpakaian teknisi dan bermasker itu menjawab sopan sambil menunduk.
“Paaak! Masuk!” jeritan dari rumah seberang terdengar lagi.
Lelaki pemabuk mendengus dan berlalu, dibarengi gerutuan tak jelas. Sementara itu, sang teknisi yang baru datang langsung menghampirinya yang sedang mengintip di balik pintu.
“Jovan ngantuk, Ma ….”
Ia membiarkan teknisi itu melewatinya dan Jovan, tanpa suara, benar-benar tanpa suara, dan langsung menuju ke arah dapur. Tak lama, lelaki itu sudah sibuk memperbaiki pompa yang rusak.
Malam makin senyap. Neva dan Jovan sudah lelap kembali. Pintu depan tertutup rapat. Segelas teh manis panas mengepul di dekat lelaki teknisi yang sedang menyelesaikan tugasnya. Ia tak ingin mengganggu dan hanya menyaksikannya sambil duduk di kursi dapur.
Tak lama, lelaki itu sudah berhasil menyelesaikan tugasnya dan membawa gelas teh manis yang kosong ke dapur, mencucinya sendiri dan menyimpan dengan rapi. Semua dilakukan tanpa sepatah kata pun, hanya sekali saja melirik padanya.
Ia ingin mengucapkan banyak kata, menghamburkan ungkapan rasa. Di benaknya tersimpan penantian yang panjang, kesendirian yang kadang begitu menyiksa, dan kemandirian yang bukan jadi pilihan. Ia sudah bertahan sekian lama, dan ternyata harus menunggu rusaknya pompa. Sejatinya, ia ingin bicara.
“Aku tahu kalau ada apa-apa, aku bahkan bawa pompa baru, nih ….”
Suara lembut itu membuyarkan semua gumpalan keluh kesahnya, mencairkan kebekuan hatinya dan mendatangkan ketenangan yang luar biasa. Tanpa masker, senyum lelaki itu menjadi pusat semesta. Senyum itu memancarkan pengaruh yang selalu membuatnya rela, kerelaan yang aneh dan tak dapat dimengerti siapapun, untuk selalu mau menunggu sekadar sekejap jumpa. Ia sudah memilih, dan malam ini kembali yakin dengan pilihannya.
“Sudah makan, yang?”
Lelaki itu mendekat. Sangat dekat. Bau keringat merasuk ke dalam penciumannya dan hatinya semakin terguncang. Debaran-debaran yang sudah beberapa bulan terjebak dalam jeda penantian, tiba-tiba bertalu-talu menemukan kesempatan.
“Aku tak bisa lama, sebentar lagi ada briefing mendadak di mako.”
Ia tak mendengar apa-apa. Tak mau menghiraukan apa-apa. Ia hanya ingin direngkuh dan diterima. Dapur yang sempit tetapi resik itu terasa memanas. Napasnya tak lama kemudian terengah-engah, dan bersahutan. Ia terduduk di atas tumpuan penantian diiringi alunan suara kaki kursi berdecit-decit, sonata lembut yang makin tak beraturan. Tubuh kekar itu tangguh menahan semua rindu yang ia tumpahkan, berkali-kali, sebelum akhirnya menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, dan ia terkulai dalam rengkuh senyuman.
No comments:
Post a Comment