• Cek Yuk!

    21 June 2021

    Tiga Sahabat dan Sebutir Kelapa


    Siang yang terik tak menghalangi Felix Penyu mengunjungi lagi Teluk Pelangi. Ia disambut hamparan pasir putih yang indah, dengan deburan ombaknya yang lembut dan menenangkan hati. Perpaduan antara birunya lautan dan putihnya hamparan pasir, selalu membuat Felix Penyu suka untuk datang dan datang lagi.

    Hembusan angin laut menghadirkan suara gemerisik dedaunan yang semakin mendamaikan perasaan. Ia bersantai di atas sebongkah batu, di bawah naungan Pandanus utilis yang teduh. Sesekali, cipratan ombak menyegarkan tubuhnya, dan menyempurnakan kebahagiaannya. Namun, ia merasa ada yang kurang.

    “Hmmm, sudah sesiang ini ..., kenapa Bram Ketam dan Tami Bangau belum datang, ya? Biasanya mereka duluan …,” gumamnya sendirian.

    Selama beberapa saat, Felix Penyu menunggu dengan sabar, hingga terkantuk-kantuk. Sampai akhirnya ia tersadar, ada sesosok ketam kenari besar yang sedang termangu-mangu menatap lautan, bersembunyi di bawah pelepah pohon kelapa yang jatuh dan sudah lapuk. Olala, di situ rupanya, serunya dalam hati.

    "Hai, Bram Ketam,” sapanya ketika sampai di persembunyian itu, “aku menunggumu di tempat biasa. Kenapa malah bersembunyi di sini?”

    Sejenak, Bram Ketam terkejut. Namun, wajahnya memuram lagi, lalu kembali termenung sambil menatap cakrawala. Ia menghela napas, seolah melepaskan beban perasaannya.

    “Ah, sahabatku …,” akhirnya Bram Ketam buka suara, “maafkan aku tidak menyadari kehadiranmu. Aku sedang bersedih memikirkan Tami Bangau, sahabat kita.”

    “Ada apa?" Felix Penyu keheranan, "Di mana dia? Siang ini kan jadwal kita bertiga berkumpul di sini, di awal minggu.”

    “Dia sedang marah padaku,” suara Bram Ketam melemah, “aku sudah berbuat kesalahan yang sangat besar.”

    Felix Penyu terkejut. Ia lalu mendengarkan cerita Bram Ketam dengan penuh perhatian. Beberapa hari yang lalu Bram Ketam diajak menemani Tami Bangau melakukan perburuan ikan pertamanya. Tami Bangau tak dapat mengajak Felix Penyu, karena kaum penyu masih mengembara di lautan. Bagi para bangau bluwok muda, perburuan pertama di hutan bakau sebelah utara Teluk Pelangi adalah saat yang amat istimewa, dan Tami Bangau ingin Bram Ketam menemaninya.

    “Tapi aku ketiduran, dan saat terbangun malah lupa janji itu! Aduuh, aku sangat menyesal. Kalau bisa, aku ingin memutar waktu dan memperbaiki kesalahan itu, tapi tak bisa ….”

    Felix Penyu ikut terhanyut dengan kesedihan sahabatnya, tapi kemudian tersenyum dan menenangkan Bram Ketam.

    “Sudahlah ..., itu sudah terjadi. Lebih baik kamu meminta maaf dan mengakui sejujur-jujurnya saja.”

    “Sudah, aku sudah minta maaf …, tapi Tami Bangau tetap marah, dan malah meninggalkanku. Dia tidak mau berbicara lagi padaku.”

    Hampir saja tangisan Bram Ketam pecah, tetapi Felix Penyu segera menenangkannya lagi.

    “Aku punya ide. Bagaimana kalau mengirimkan hadiah saja sebagai tanda penyesalanmu? Kata ibuku, semua orang suka hadiah, dan hadiah yang diberikan dengan hati yang tulus akan menyentuh hati penerimanya. Dia cuma kesal. Aku yakin dia juga kehilangan kamu. Lagipula, tak mungkin Tami Bangau hanya mau bermain bersamaku. Kita selama ini selalu main bertiga. Iya ‘kan?”

    Wajah Bram Ketam tiba-tiba bersinar cerah. Matanya bercahaya lagi.

    “Kamu benar! Terima kasih sudah mengingatkanku. Aku akan segera mencari Cocos nucifera terbaik sebagai hadiah untuknya!”

    “Kelapa?”

    ***


    Felix Penyu akhirnya dapat bernapas lega. Bram Ketam sudah berlalu dengan penuh semangat. Sedangkan ia sendiri melanjutkan menikmati beberapa jam bersantai sendirian, bahkan tertidur pulas. Selepas itu, ia memutuskan untuk pergi ke rumahnya.

    Para penyu memang lebih banyak hidup di lautan, tapi keluarga Felix Penyu punya sebuah rumah istimewa di Teluk Pelangi. Tak hanya nyaman, tempat itu juga punya sebuah kolam istimewa. Felix punya rencana menghabiskan senja sambil memandangi kolam kesukaannya.

    Namun, belum lagi sampai ke rumahnya, tiba-tiba Tami Bangau mencegat perjalanannya dengan wajah berseri-seri. Paruhnya yang panjang menurunkan … sebutir kelapa! Saat Felix Penyu kebingungan, sahabat baiknya itu segera menjelaskan.

    “Felix Penyu yang baik, terima kasih sudah menjadi sahabat yang luar biasa. Tadi dia datang ke rumahku, meminta maaf atas kesalahannya beberapa hari yang lalu. Tadinya aku masih kesal, tapi melihat dia bersusah payah menyeret-nyeret buah kelapa sebesar ini ..., aku tak kuasa menahan tawa. Katanya, ini idemu, Felix Penyu. Hihihi. Aku tahu dia suka sekali buah kelapa, terlalu suka dan terlalu banyak makan kelapa, sampai badannya bongsor dibandingkan teman-teman seusianya, tapi … masalahnya, aku kan bukan pemakan kelapa!”

    “Ya ampuuun! Padahal aku sudah bilang ….”

    “Tadinya kupikir juga begitu, dia hanya membawakan sesuatu yang istimewa menurut pikirannya saja, tapi ternyata … kelapa ini ada isinya!”

    Felix Penyu menengok ke dalam buah kelapa yang dibawa Tami Bangau. Seketika, matanya bersinar-sinar, melihat ikan-ikan kecil berwarna-warni ada di dalamnya.

    “Aih, betul, Tami Bangau! Lucu-lucu, cantik-cantik ikannya! Tapi … kenapa malah dibawa ke sini?” kekaguman Felix Penyu berakhir dengan keheranannya.

    “Aduuh, masa sih aku tega makan ikan kecil-kecil yang lucu ini, Felix Penyu? Ini bukan makananku, tapi aku tak tega menolaknya. Takut Bram Ketam sedih atau kecewa. Makanya, diam-diam kubawakan untukmu saja. Aku tahu, kamu kan suka sekali ikan seperti ini.”

    “Hehehe, iya sih. Terima kasih, senangnyaaa. Kamu memang sahabat yang baik!”

    “Oya, aku sore ini mau berburu ikan lagi di hutan bakau, dan Bram Ketam sudah menungguku. Katanya, dia ingin mengganti kesalahannya waktu itu. Padahal, sudah kumaafkan kok sebetulnya. Naah, aku tinggal dulu ya, aku tidak mengajakmu, sebab kata Bram Ketam kamu baru sampai. Lebih baik istirahatlah dulu.”

    Perbincangan itu berakhir. Tami Bangau berlalu dengan riang, meninggalkan Felix Penyu yang juga amat bergembira menerima sebutir kelapa istimewa. Ia membawanya dengan hati-hati ke rumahnya. Namun, di depan kolam kesukaannya ia tercenung. Kolam kecil itu tampak keruh dan tak ada isinya!

    Setelah berpikir keras dan tiga kali mengulang-ulang pandangan ke arah kolam dan butir kelapa, akhirnya Felix Penyu menggaruk-garuk kepalanya, lantas tertawa terbahak-bahak.

    Karya: @yoezka_
    Editor: @fiksisaja

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi