Teluk Pelangi adalah tempat terindah di muka bumi. Bram Ketam tak pernah meragukannya, bahkan sudah meyakininya sejak lama, jauh sebelum Felix Penyu mengatakannya.
“Teluk Pelangi ini ...,” ucap Felix Penyu pada suatu hari, wajahnya amat bersungguh-sungguh, “adalah tempat terbaik. Tak ada yang lebih baik. Percayalah!”
“Pastinya begitu, aku percaya! Di sini buah kelapanya paling enak!” jawab Bram Ketam. Tawa Felix Penyu langsung berderai.
“Aah, pikiranmu, makanan melulu!” ucapnya lagi,”Bukan hanya karena itu, tapi di sini suasananya bersih, damai dan nyaman. Di luar sana, banyak tempat yang sudah tak layak lagi untuk dihuni, teman.”
Felix Penyu lantas bercerita tentang beberapa lautan yang pernah dikunjungi di dalam pengembaraannya, yang tercemar limbah dan dihuni oleh beragam makhluk laut yang keracunan. Tubuh mereka ada yang cacat, sakit, dan bahkan ada yang sudah tak bergerak lagi.
“Mengerikan! Aku tak bisa tidur semalaman, ketakutan ….”
Teluk Pelangi memang amat indah dan damai, tetapi di sini pun Bram Ketam pernah juga merasakan tak bisa tidur semalaman. Penyebabnya, para ketam kenari muda berencana pergi ke Kebun Kebahagiaan, dan ia tak menerima ajakan.
Kebun Kebahagiaan amat terkenal di kalangan para ketam kenari, karena berlimpah buah kelapa berukuran besar, dengan daging yang empuk dan segar. Di sana, para ketam kenari dapat makan sepuasnya sambil menikmati indahnya hamparan pasir putih, rerimbunan hutan bakau, dan atraksi istimewa ribuan burung beterbangan.
Sayangnya, Bram Ketam belum pernah diizinkan pergi ke tempat impiannya itu. Ia dianggap masih kecil dan perjalanan ke sana bisa sangat berbahaya. Bukannya takut, rasa penasarannya malah semakin bertambah setiap harinya. Bayangan tentang kelapa yang besar dan lezat lebih mempengaruhi pikirannya.
“Yang penakut, tak usah ikut!”
“Apalagi kalau gendut, lamban, nanti malah ketinggalan!”
“Makanmu terlalu banyak, nanti yang lain tak kebagian!”
Tiga temannya bergantian mengejek, lalu tertawa keras-keras sambil meninggalkannya.
“Kenapa aku gemuk, Bu? Kenapa aku beda dari yang lain?” keluhnya ketika sampai di rumah dengan wajah muram.
“Bukan beda, sayang. Kamu anak istimewa, kebanggaan Ibu,” jawab ibunya sambil mengelusnya dengan lembut.
Sayangnya, ia tetap tak dapat tidur semalaman.
Esok paginya, Bram Ketam melihat ibunya menyelinap pergi pagi-pagi sekali. Anehnya, beberapa saat kemudian teman-temannya berdatangan dan mengajak pergi ke Kebun Kebahagiaan. Bram Ketam keheranan, lantas memandang ibunya penuh tanya.
“Pergilah, nak, banyak kelapa enak di sana!” ucap ibunya sambil tersenyum.
Bram Ketam sering tak berdaya kalau sudah diingatkan tentang kelapa enak. Ia bergegas menyusul teman-temannya. Namun, kekhawatirannya ternyata menjadi kenyataan. Beberapa temannya berubah sikap di perjalanan. Bram Ketam tak bersuara, teringat pesan ibunya, “Tetaplah berbuat baik ya, nak. Jangan balas keburukan teman dengan keburukan lagi.” Ia memilih terus berjalan meski perlahan, dan akhirnya jauh ketinggalan. Teman-temannya bahkan tak lagi kelihatan.
Tiba-tiba, ombak besar datang. Meskipun selamat, ia cukup jauh terbawa ombak dari jalan yang seharusnya. Saat masih kaget, ia mendengar suara di dekatnya.
“Sudah dibilang kan, jangan main ke sini. Tak mau menurut, ya sekarang terimalah akibatnya. Lagipula …,” omelan itu berhamburan.
Bram Ketam kebingungan, celingak-celinguk. Siapa yang begitu cerewet mengomelinya? Ia naik ke atas batu karang dan … terlihatlah sesosok burung bangau berbulu putih sedang berbicara sendirian. Sebelah kakinya rupanya terjepit di antara batu karang.
“Halo, teman, boleh aku coba membantumu?”
Bram Ketam selalu ramah dan ringan tangan. Ia langsung menawarkan bantuan. Meski diejek lamban, tubuhnya besar dan kuat. Ia berhasil membantu melepaskan kaki bangau itu.
“Namaku Tami Bangau, teman baik. Terima kasih sudah menolongku. Boleh aku memberimu hadiah sebagai tanda terima kasih?” ucapnya.
Bram Ketam dengan sopan menolak hadiah yang ditawarkan, dan segera berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
“Kamu mau ke mana, teman baruku?” tanya Tami Bangau sambil keheranan.
“Aku mau ke Kebun Kebahagiaan. Aku harus cepat-cepat, sebab teman-temanku sudah duluan,” Bram Ketam sambil menunjuk ke arah sekumpulan nyiur melambai di kejauhan.
“Ah, baiklah, tapi aku punya ide yang lebih baik dan lebih cepat untuk sampai di sana!” seru Tami Bangau.
Saat teman-temannya datang, mereka menemukan Bram Ketam sedang asyik menikmati kelapa berukuran besar yang segar. Mereka segera mengerubunginya dan bertanya penuh keheranan, sebab si lamban ternyata sudah sampai duluan.
“Sudah, sudah, ayo mendingan makan!” Bram Ketam malah tertawa, tak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Akhirnya mereka menyerah dan mulai berburu kelapa untuk dimakan. Tak lama kemudian, Bram Ketam menyelinap ke arah sebatang pohon bakau yang rimbun.
“Kamu mau makan kelapa ini, Tami Bangau? Ini makanan terenak di dunia. Ternyata benar, kelapa di Kebun Kebahagiaan ini luar biasa, istimewa!” ucap Bram Ketam pada teman barunya. Tami Bangau sedang berdiri dengan anggun dengan hanya sebelah kakinya. Ia tetap diam, dan tak mengubah posisinya.
“Kamu sedang apa sih, Tami Bangau? Ayo makan kelapa!” bujuk Bram Ketam lagi.
“Aduuh, kamu menggangguku, aku sedang yoga! Terima kasih atas tawaranmu, teman baik, tapi tidak. Pertama, aku tak suka kelapa. Kedua, aku harus menjaga bobot badanku!”
Bram Ketam melongo, lalu meninggalkan teman barunya yang terus mengomel. Ia tak habi piskir, ada makhluk yang tak suka kelapa segar, apalagi di Kebun Kebahagiaan.
Bram Ketam benar-benar menikmati kunjungannya di Kebun Kebahagiaan. Ia kekenyangan dan sempat tertidur pulas di bawah pohon kelapa yang sejak datang terus ditatapnya dengan penuh kekaguman. Saat teman-temannya mengajak pulang, Bram Ketam menyuruh mereka duluan. Alasannya, ia masih ingin menikmati lagi kelapa terenak di dunia.
Teman-temannya saling berpandangan dan akhirnya berangkat duluan. Namun, saat tiba di Teluk Pelangi sore itu, mereka menemukan lagi Bram Ketam sedang tertidur nyenyak kekenyangan di depan rumahnya.
Cerita Bram Ketam pergi ke Kebun Kebahagiaan tersebar luas di kalangan kaum ketam kenari. Tak ada teman-teman yang mengejek dan meremehkannya lagi, sepulang dari sana.
Penulis: @yoezka
No comments:
Post a Comment