Setelah dua hari bersembunyi, pada hari ketiga Kancil akhirnya menampakkan diri di kerajaan hutan. Ia segera menyadari para penghuni hutan berbisik-bisik pada saat ia melewati mereka. Rupanya kabar sudah menyebar begitu cepat dan tak dapat ditahan. Tentu saja, kabar itu menjadi gosip yang penuh bumbu dan fitnah.
Kancil hanya dapat menghela napas panjang penuh penyesalan. Hatinya susah, tapi tak mungkin menjelaskan apa yang terjadi tiga hari sebelumnya. Kalau ia menyangkal pun tak ada gunanya. Seisi hutan seolah sudah bersepakat menjatuhkan tuduhan bahwa ia menjadi pelaku pencurian timun di kebun Pak Tani.
Semua bersimpati pada Pak Tani. Semua mengenal orang tua itu sebagai manusia yang baik hati dan tetangga yang baik. Setiap habis panen, Pak Tani selalu mengirim hasil bertaninya ke hutan, jumlahnya selalu berlimpah dan membuat seisi hutan bisa berpesta meriah. Berita pencurian timun oleh penghuni hutan menjadi aib, sebab selama ini Pak Tani selalu dipuji dan dihormati.
“Ah, aku memang terlalu bodoh dan ceroboh,” keluh Kancil dalam hati. Ia terus menyalahkan dirinya kenapa memakan sebutir timun yang tergeletak di tanah di luar pagar kebun Pak Tani. Saat itu, ia sedang pulang dari perjalanan yang cukup jauh, kehausan, dan merasa tertolong saat melihat timun yang ditemukannya. Nanti aku bilang pada Pak Tani kalau sudah memakan sebutir timun di luar pagar kebunnya karena kehausan, pikir Kancil saat itu. Saat dalam perjalanan pulang menuju ke hutan, tiba-tiba serombongan kera dari hutan tetangga berlarian menyalipnya sambil tertawa-tawa.
“Besok kita ke sana lagi, ha ha ha,” seru salah satu di antaranya, tubuhnya paling besar dan tampak berkuasa.
“Bagaimana kalau yang punya …,” tanya temannya.
“Ssstttt, jangan berisik!” potong kera paling besar itu sambil mengerling ke arah Kancil. Temannya ikut melirik, lalu keduanya, disusul seluruh kawanan kera itu, tertawa sambil berlarian ke arah hutan tetangga.
Setiba di hutan, dengan polosnya Kancil bercerita pada Burung Hantu, betapa ia merasa bersalah telah memakan sebutir timun di luar pagar kebun Pak Tani. Ceritanya tak menarik perhatian pada awalnya. Tapi sore harinya Pak Tani datang ke batas hutan, lalu mengadu pada Banteng, menceritakan bahwa kebun timunnya rusak dan dijarah. Banyak timun yang harusnya bakal dipanen, ternyata dicuri dan bekasnya tampak berserakan. Ketika Pak Tani pulang, dan ceritanya diceritakan lagi kepada seisi hutan, Burung Hantu segera teringat pada cerita Kancil. Meski ia tidak menuduh, tetapi desas-desus berkembang dengan cepat.
Hari sudah semakin siang. Kancil kini sudah tiba di dekat pagar Pak Tani yang tampaknya sudah diperbaiki dan lebih rapat lagi. Namun, ia tak melihat tanda-tanda kehadiran bapak tua yang baik hati itu. Kancil mengelilingi kebun yang luas itu sampai akhirnya menemukan sebuah menara kecil yang cukup tinggi untuk mengawasi seluruh kawasan kebun itu. Biasanya Pak Tani berisitirahat di menara itu, sambil mengawasi kebunnya.
Kancil keheranan, sebab Pak Tani tetap tak dapat ditemuinya. Tiba-tiba ia mendengar suara orang mendekat dari balik rimbunnya pepohonan. Kancil segera bersembunyi, karena ia tak mengenal suara itu.
“Dik, kamu jangan sembarangan memakai senapan itu, ayah kita tak pernah berbuat jahat pada binatang,” ucap seorang pemuda gagah yang berdiri di depan.
“Tenang saja, Kak, aku cuma bakal memakai ini kalau terpaksa, misal perusak kebun ayah kita tak mau juga pergi. Ini hanya untuk mengejutkan mereka saja,” jawab adiknya yang berdiri di belakang.
Kedua kakak-beradik itu lalu berhenti di dekat menara.
“Semoga ayah cepat sembuh, kasihan malah terpapar Covid-19 seperti ini. Untung ayah kuat, hanya perlu isolasi saja sementara ini. Ini pasti gara-gara ayah menerima tamu pembeli sayur dari kota kemarin ya, Dik?” tanya sang kakak.
“Kita tidak bisa memastikan, Kak, tapi mungkin saja. Tamunya kemarin tak mau memakai masker saat datang. Sekarang mereka semua harus beristirahat dulu.”
Kakak-beradik itu segera naik ke atas menara dan melanjutkan perbincangan sambil membuka bekal makanan mereka. Rupanya mereka selama ini tinggal di desa tetangga, dan baru pulang saat dikabari bahwa ayah mereka sedang sakit.
Bukan main sedihnya hati Kancil. Jangan-jangan Pak Tani yang baik hati itu sakit karena kebunnya rusak dan buah timunnya dicuri, pikir Kancil. Ia juga makin merasa susah, sebab dirinya yang dituduh melakukan pencurian itu. Padahal, ia berani bersumpah tak suka makan timun, karena agak berlendir dan baunya tak enak. Ia lebih suka makanan yang lebih lembut, semisal pucuk-pucukan dan atau buah yang lunak dan harum.
“Aku Tragulus javanicus, sebenarnya merasa geli dituduh jadi penyuka timun, apalagi harus mencurinya,” keluh Kancil dalam hatinya.
Kancil mengendap-endap pulang, sebab agak takut juga membayangkan senapan yang disandang oleh anak Pak Tani. Setelah cukup jauh, barulah ia lega. Namun, baru saja ia merasa tenang, tiba-tiba gerombolan kera yang ditemuinya tiga hari yang lalu, datang dari arah berlawanan. Mereka seperti biasa berisik dan cekakakan.
“Hai, kawanan kera. Aku harap kalian tak pergi ke kebun Pak Tani,” Kancil memberanikan diri mengucapkan permintaannya.
“Eh, kau Kancil,” jawab sang pemimpin kawanan yang tubuhnya paling besar, dengan mata tajam dan sambil menyeringai, “kata siapa kami mau ke kebun Pak Tani? Jangan menuduh kami mencuri timun, heh!”
“Aku tidak bicara tentang timun,” Kancil tersenyum.
“Oh, eh, maksudku, maksudku…,” pemimpin kera itu tampak kaget karena ucapannya sendiri.
“Kasihan Pak Tani sedang sakit, jangan tambahi kesedihannya dengan mengambil timunnya, Pak Kera!” pinta Kancil dengan lembut, tetapi mata pemimpin kera itu segera melotot.
“Apa? Kau tuduh kami apa? Mau aku tinju mukamu, Kancil? Bukannya kamu yang mencuri timun Pak Tani? Ha ha ha!” tawa pemimpin kera itu segera diikuti oleh kawanannya. Mereka segera mengelilingi Kancil yang lalu merasa terancam. Ia secepat kilat berlari, meloncati sungai dengan gesit, memanfaatkan bebatuan yang ada, dan mengamankan dirinya. Kancil padahal tadinya ingin memberitahu kawanan kera itu untuk menghindari bahaya.
Kancil merasa kehabisan napas, sesudah berlari sekencang-kencangnya. Ia menyandarkan badannya ke sebuah pohon besar. Namun, baru saja ia mencoba mengatur napasnya, beberapa bunyi tembakan menggema diikuti suara jeritan-jeritan dari arah bawah sana.
“Dor-dor-dor!” suara keras membahana itu terdengar lagi.
Tak lama, kawanan kera yang tadi mengejek dan mengancam Kancil, tampak kocar-kacir berlarian. Mereka saling mendahului, berlari dengan muka pucat pasi ketakutan. Para kera itu bahkan tak memperdulikan Kancil. Ada juga yang jatuh ke dalam sungai, lalu bergegas berenang menuju tepian, dan berlari lagi ke arah hutan tetangga. Selang beberapa detik, pemimpin kera terlihat berlari memyusul kawanannya sambil berteriak-teriak minta ampun dan terkentut-kentut ketakutan.
Kancil terbengong-bengong, lalu perlahan menutup hidungnya.
Penulis: @yoezka_
Foto: Wikipedia
Grafis: @fiksisaja
No comments:
Post a Comment