Pak Tua Pablo, sapaannya. Tak ada yang tahu nama aslinya. Usianya sudah pasti lebih dari setengah abad, tapi badannya masih tampak segar dan sanggup banyak bergerak, meski kadang perlahan-lahan. Setiap hari, ia melintasi Miguel Street, dari ujung blok tempat tinggalnya, yang kumuh dan dikenal sebagai sarang para pengedar narkoba, pencopet dan penjaja cinta, menuju taman publik yang selalu ramai oleh para pelancong di pinggir pantai Las Bocas.
Penampilannya sederhana, tetapi raut wajahnya begitu tegas. Sekilas saja, jika orang menatapnya, dan ia tak senang, sorot matanya akan berubah tajam dan bercahaya dan membuat jerih siapapun. Namun, ia sebenarnya cukup ramah. Hanya saja, di sekitar itu tak banyak orang yang benar-benar baik berkeliaran di jalanan, sedangkan para kriminal rendahan punya pemikiran sendiri, dan mereka memutuskan untuk tidak berurusan dengan Pak Tua Pablo.
“Di kursi rodanya itu, Si Tua masih menyimpan pistol,” bisik seorang pemuda dengan tato di leher, saat melihat Pablo lewat dengan kursi rodanya.
Dia sebenarnya masih kuat berjalan, tetapi sejak mengalami kecelakaan kecil yang memaksanya menggunakan kursi roda ke mana-mana, kebiasaan itu ternyata tak dihentikannya. Setiap pagi, sekitar pukul sembilan, ia akan melintas dengan topi pet dan jaket kulitnya, menuju ke arah taman.
“Hari ini muralmu bakal selesaikah, Pak Tua?” Diego berteriak parau saat Pablo melintas di depan kedainya. Seperti biasa, dilemparkannya sebutir apel yang sigap ditangkap Pablo. Senyum lelaki tua nyentrik itu mengembang, disertai anggukan.
“Ikut?” tanyanya.
“Ah, tidak, Pak Tua ….”
Beberapa orang sempat menganggap Pablo agak sinting. Ketika menemukan sebuah tembok tua yang kotor dan masih menyisakan banyak lubang peluru, bekas pertempuran antar geng narkotika lima tahun ke belakang, Pablo membersihkan tembok itu, seorang diri, dua minggu lamanya. Benar-benar membersihkannya, menghilangkan lumut dan mengecatnya dengan warna putih gading, membuatnya cerah kembali sesudah bertahun-tahun tak menyisakan selain aroma kematian dan keputusasaan. Pemilik rumah di balik tembok itu dikabarkan ikut terbunuh, dan tak ada seorang pun yang berani muncul mengaku sebagai ahli warisnya. Konon pula, selama berbulan-bulan rumah itu terus diintai banyak orang. Tak jelas, yang mana polisi, yang mana anggota kartel.
Setiap dua hari sekali, sebuah limo hitam mengkilat berhenti di seberang jalan. Jika jendela kacanya diturunkan, seraut wajah perempuan cantik akan terlihat di dalam kabinnya yang mewah dan nyaman. Raut muka itu putih bersih dan tetap jelita meski usianya sudah tak muda.
Pablo tak pernah memperdulikan sekelilingnya saat berkarya. Ia membuat sketsa pada tembok yang sudah dicatnya, lantas perlahan tapi pasti, melukis dengan segenap perasaannya. Mural yang indah itu lantas tercipta dengan pesona warna-warni yang mengesankan dari tangannya. Sejak saat mulai melukis itulah dia mulai dipanggil Pablo.
Tak jelas siapa dia, apa pekerjaannya sebelumnya. Pablo datang setahun yang lalu, entah dari mana, lalu menyewa sepetak kamar yang sampai sekarang ditinggalinya. Meski amat bersahaja, Pablo punya uang buat menjamin kehidupannya.
“Untuk apa kau melukis terus di tembok ini, Pak Tua?” ucap seorang pemuda pada suatu hari.
“Untuk sebuah senyuman,” jawabnya santai, “salahkah?”
Beberapa bulan kemudian, orang-orang baru bisa melihat, mural yang dilukisnya ternyata bukan tanpa pola. Mereka yang sedang jalan-jalan di taman dekat pantai akan langsung mengenali huruf-huruf yang disamarkan Pablo di dalam muralnya. Ia membagi tembok menjadi 5 kotak yang dikerjakannya satu per satu. Tulisan “MISS U” itu begitu memukau, dengan paduan warna-warna yang kontras dan berani.
Ketika mural itu benar-benar selesai, yang dilakukan Pablo adalah menikmati secangkir kopi sambil duduk memandangi muralnya. Satu jam, dua jam, Pablo asyik menenggelamkan diri ke dalam karyanya.
Pagi itu, limo hitam mengkilat tampak berhenti di seberang jalan. Seperti Pablo, penumpangnya terus tertegun memandang ke arah mural yang sama. Detik demi detik berlalu dengan lambat. Begitu lambat, hingga satu suara akhirnya memecah kesunyian.
“Tak apa aku bersabar menunggumu menikmati lukisan itu, puaskanlah sepenuh hatimu,” ucap laki-laki muda di depannya.
Perempuan itu menoleh, menatap sedih.
“Izinkan aku menemuinya, Ramon.”
“No, no. Seperti Ayah bilang, kalau itu terjadi aku akan menembaknya, lalu menembakmu juga, Mom.”
“Yang kau panggil ayah itu, dia manusia gila. Kalau terus ikuti kegilaannya, hidupmu hanya akan berakhir seperti dia, ditembak di depan tembok mural itu. Ayahmu yang sesungguhnya, dia yang duduk di kursi roda itu ....”
#d2 #wty
No comments:
Post a Comment