Meski lebih suka mengerjakan tugas di dalam perpustakaan yang sejuk, Harumi memutuskan mengalah, mengikuti permintaan untuk berpindah tempat. Lagi pula, kalau dia memilih tetap berada di ruang baca, partner kerjanya pasti berisik bukan main. Itu bakal jadi bencana, dan hanya masalah waktu saja Bu Marta, petugas perpustakaan yang galak itu, bakal mengusir mereka. Maka, di sinilah mereka berdua sekarang, duduk berhadap-hadapan di bawah pohon rindang, di samping kantin pojok belakang sekolah.
“Yas, kamu yakin mau ambil tema tentang tokoh antagonis buat tugas esai kita ini?” tanyanya, sedetik sesudah Bu Kantin berlalu dan dua gelas coklat hangat dengan uap berkepul-kepul tersaji di meja mereka. Coklat, di luar buku, adalah di antara yang menyatukan Harumi dan Elyas dalam persahabatan. Harumi siswi pindahan baru, sementara Elyas selama ini nyaris tak punya teman karena terlalu kutu buku dan introvert. Anehnya, jika belajar bersama Harumi, Elyas berubah jadi sangat berisik.
“Ya, dong, ini menarik, dan kamu nggak boleh protes, ini kan giliranku yang ngasih ide,” jawab Elyas antusias, sambil membetulkan posisi kacamata tebalnya, lalu menyeruput coklat hangatnya. Coklat adalah salah satu hal lain, di luar buku, yang menyatukan Harumi dan Elyas dalam persahabatan yang unik. Harumi yang siswa pindahan baru, banyak tertolong oleh Elyas. Sementara itu, Elyas yang nyaris tak punya teman akrab, bisa lepas berbicara karena Harumi tak pernah menertawakannya.
“Bukannya tokoh antagonis itu selalu melawan kebenaran dan punya watak jelek, Yas? Aku bacain nih definisinya. Tokoh antagonis adalah pembawa konflik, dan selalu menentang tokoh protagonis. Bisa dikatakan, tokoh antagonis adalah penghalang tokoh utama mencapai tujuannya. Nah, apanya yang menarik?” Harumi lebih terdengar seperti sedang menguji.
“Pikirkan. Pisang goreng atau roti bakar?” jawab Elyas sambil membetulkan lagi kacamatanya. Tingkahnya sering membuat Harumi berpikir untuk memberi tali karet biar kacamata itu tak pernah melorot lagi, selamanya.
“Astaga, Yas, fokus dong. Tugas kita kan harus dikumpulkan siang ini juga,” Harumi cemberut, “pisang aja!”
“Beuh….”
Elyas punya kecepatan mengagumkan dalam menyampaikan pesanan makanan. Di luar sisi tingkahnya yang kadang gugup berdekatan dengan orang lain, kalau urusan makanan dia lihai tiada tara. Tak lama, kiriman pisang goreng pun menghampiri mereka.
“Menurutku, sebetulnya malah tokoh antagonis itulah kunci menarik tidaknya sebuah cerita. Bayangkan kalau nggak ada tokoh antagonisnya, garing banget kan? Bukan cuma sayur tanpa garam itu sih, tapi sayur tanpa air kuahnya!”
“Tapi kan bisa ditumis, Yas.”
Pada akhirnya mereka sepakat bahwa cerita tanpa tokoh antagonis akan kehilangan makna dan terasa datar-datar saja. Pada akhir sesi pertama diskusi mengenai tokoh antagonis, mereka juga menyepakati untuk memesan lagi camilan, sebab empat potong pisang goreng sudah raib entah ke mana.
Saking serunya berdiskusi, baru beberapa saat kemudian mereka menyadari kehadiran Coki dan Genta di sudut lain taman kantin itu. Elyas baru melihat keduanya, saat Genta mencuri-curi kesempatan mengisap rokoknya, yang lalu dihentikan Coki karena kuatir dilihat guru yang lewat. Muka Coki terlihat tak senang saat melirik Harumi. Elyas tahu, Coki punya kecemburuan yang hebat terhadap Harumi saat ini. Dulu, Coki bintang kelas, anak paling pintar dalam segala hal. Meski kadang arogan dan agak mengintimidasi, teman sekelas mengakui Coki punya kepintaran yang di atas rata-rata. Tapi kini, sesudah Harumi datang, semuanya tak lagi sama.
Tugas esai berdua itu akhirnya selesai juga. Tak terlalu tebal, tetapi cukup mudah dibaca, paling tidak itu menurut Elyas yang menjadi editor pada pemeriksaan akhirnya. Sebagai tambahan, Harumi memasukkan beberapa catatan penting tentang cara menghadirkan tokoh antagonis di dalam cerita, yang didapatnya dari penerusuran daring.
Pertama, tokoh antagonis adalah karakter yang paling menjadi ganjalan bagi tokoh utama dalam mencapai tujuannya. Kedua, tokoh antagonis mudah dikenali sebagai orang jahat, meskipun sebenarnya tidak selalu jahat, hanya saja menghalangi tujuan tokoh utama. Ketiga, tujuan tokoh antagonis berlawanan dan berhadap-hadapan dengan tujuan tokoh utama. Keempat, sebenarnya selain tokoh individual, ada juga hal-hal lain yang dapat menjadi antagonis tokoh utama, meliputi kekuatan alam, dapat berupa bencana banjir, tsunami, dan sebagainya, atau kelompok manusia semisal organisasi, geng dan lain-lain, atau perusahaan, dan dapat juga berupa kondisi kehidupan manusia yang dapat mencakup kemiskinan, korupsi, pandemi dan sebagainya.
Kelima, kekuatan atau kemampuan tokoh antagonis sebaiknya sama dengan tokoh protagonis, sehingga terjadi pertarungan yang seimbang dan ‘konflik yang baik’. Keenam, tokoh antagonis yang paling baik adalah dia yang sudah punya peran dalam kehidupan tokoh protagonis di dalam cerita. Ketujuh, motivasi tokoh antagonis dalam menentang tokoh utama, harus sama baiknya dengan motivasi tokoh protagonis dalam mencapai tujuannya. Kedelapan, tokoh antagonis tidak selalu harus dilihat sebagai pemilik motivasi negatif, karena jika kondisinya dibalik, mungkin penjahat pun bisa jadi tokoh protagonis. Artinya, tidak harus selalu hitam-putih penggambarannya. Seorang pahlawan pun sangat manusiawi jika memiliki kekurangan. Kesembilan, soal keyakinan, tokoh antagonis yang kuat karakternya memiliki kepercayaan mutlak bahwa motivasinya sangat beralasan, kuat, dan tak terbantahkan, sehingga tindakannya adalah benar menurutnya.
“Yeaah!” tak sadar Elyas berteriak kegirangan, tapi lalu menutup mulutnya sambil matanya melihat ke kana-kirinya. Untunglah, taman kantin masih sepi, hanya ada tiga bangku saja yang terisi. Pandangan mata Elyas terpaku sejenak ke bangku di sudut sana. Coki tampak mendengus, sementara lirikan Genta terlihat kejam. Sahabat Coki itu membanting bukunya, lebih karena sebenarnya dari tadi ia tak bisa mencerna isinya.
Jam masuk kelas sudah dekat, waktu yang diberikan Pak Dami untuk mengerjakan esai sudah hampir habis. Guru bahasa yang atraktif dan pandai memancing antusiasme itu sengaja menyuruh para siswa berpasangan, dan siang ini hasil kerja mereka akan dipresentasikan di depan kelas. Genta mulai kuatir karena konsentrasi Coki buyar sesudah melihat Harumi dan Elyas selesai duluan mengerjakan tugasnya. Ia sendiri bergantung sepenuhnya pada Coki, sebab di luar kemahirannya main game dan mengulik hacking, apalagi kalau harus berkutat dengan bahasa, ia tak berdaya. Biarpun begitu, tak lama mukanya berseri-seri.
“Tenang aja, Cok. Gua punya ide,” bisik Genta sambil tersenyum penuh arti.
Harumi baru saja mau memeriksa ulang semua hasil kerjanya bersama Elyas, ketika tiba-tiba pesan Whatsapp masuk ke ponselnya. Meski sempat mengernyit sebentar, ia bangkit berdiri dan pamit pada Elyas, mau ke perpustakaan karena dipanggil Dilla, teman baiknya di PMR.
“Ngapain sih? Aku ikut ya!” Elyas siap berkemas.
“Eh, ngapain ikut sih. Ini urusan gadis-gadis, tau!” Harumi bergegas. Ia baru saja mendaftar ikut PMR, sebab di sekolah asalnya juga aktif di organisasi itu. Saat ia hilang di balik bangunan kantin, saat itulah Genta sudah ada di depan Elyas yang masih memeriksa tulisan esai di laptop Harumi.
“Udah beres, Yas?” Genta duduk dan menatap tajam Elyas.
“Ud… udah, ini tinggal edit aja.”
Saat itulah suara Coki terdengar memanggil Elyas, sambil memberi isyarat untuk datang ke mejanya. Elyas melirik ke arah Genta yang tampak tak acuh, lalu berdiri dan menghampiri Coki.
“Titip bentar ya, Gen,” ucapnya. Genta tak menjawab, tapi tak lama kemudian tangannya menancapkan sebuah flashdisk mini ke laptop Harumi. Tak lama kemudian, Elyas kembali ke mejanya, disusul Harumi yang tampak kebingungan karena tak ada siapa-siapa di perpustakaan yang menunggunya. Genta dan Coki sudah tak ada di meja mereka, ketika Harumi menyadari laptopnya terkunci. Bel masuk pelajaran berbunyi, dan Elyas pucat pasi memikirkan tugas mereka yang tiba-tiba tak bisa dibuka untuk presentasi.
Bagaimanapun, presentasi Coki yang cukup berisi, tak mampu mengangkat nilainya lebih tinggi. Ketika Pak Dami mengajukan beberapa pertanyaan pada Genta, siswa bertubuh gempal itu hanya bisa cengengesan dan tak mengerti harus menjawab apa. Lain halnya dengan penampilan Harumi dan Elyas yang mampu menjawab pertanyaan secara bergantian dengan sama mantapnya. Tampak jelas keduanya sudah berbagi pemikiran selama diskusi dan penulisan esainya. Pak Dami menepati janjinya untuk memberi hadiah pada presentasi terbaik dalam penilaiannya.
“Selamat buat kamu Harumi dan Elyas, presentasi terbaik siang ini. Kalian sudah Bapak pesankan coklat panas dan pisang goreng di kantin, ya!” ucapan selamat dari Pak Dami disambut Harumi dan Elyas dengan saling berpandangan dan menahan tawa. Aplaus seisi kelas lantas bergema.
“Terima kasih buat Google Drive, ini sih,” bisik Elyas pada Harumi. Lewat keajaiban komputasi awan, presentasi bisa memakai laptop pinjaman. Coki mendorong Genta dengan bahunya, sementara hacker nakal itu cuma menggaruk-garuk kepalanya.
No comments:
Post a Comment