Malam sudah semakin larut, tak terdengar lagi suara lalu lalang kendaraan yang tadi masih ramai di kejauhan. Kini benar-benar sepi. Entah kenapa, suara para pemuda yang biasanya bermain gitar di ujung gang pun tak terdengar malam ini.
Ia sendirian di dalam kamar, duduk di kursi tuanya yang setia, bertopang dagu sambil menatap layar di depannya yang tak jua ada isinya. Layar itu tetap kosong, sebab ia hanya sanggup menggeser-geser kursor tanpa menuliskan apa-apa.
Kekosongan itu tiba-tiba mengingatkannya, bahwa ia mungkin sudah kehilangan kata-kata. Ia sudah tak punya apa-apa, selain sisa waktu entah seberapa. Waktu? Kesadaran tentang waktu itu dirasakannya seperti tetesan air di kepala, yang jika teratur jatuhnya dan dalam waktu lama, konon bisa membuat gila. Ia juga merasa dikejar oleh suara detak jam dinding yang seolah tak sama iramanya. Tadi, ia masih merasa punya semangat setiap mendengar detak-detak itu, tapi kini ia sudah merasa tak sanggup lagi.
Laptop tua di depannya sudah gelap layarnya. Ia tetap tak tahu harus mengetikkan kata apa, sebab semua calon kalimat yang sudah dicoba dirangkainya, buyar tak jelas lagi susunan dan maksudnya. Ia akhirnya bahkan tak tahu tadi hendak menulis apa. Kini, yang bisa dilakukannya hanya bertopang dagu sambil menatap layar kosong di depannya, dan mendengarkan detak-detak jam dinding yang menyiksanya.
“Maafkan aku, sayang, sepertinya malam ini aku tak sanggup menulis dan mengirimkan sebuah cerita untukmu,” keluhnya dalam hati. Wajahnya penuh kesedihan, dan ia hampir menangis, jika saja wangi teh melati tak hadir tiba-tiba di depannya. Segelas teh yang masih berkepul-kepul ada di mejanya.
“Kamu harus istirahat dulu, cinta. Sudah terlalu lelah tubuhmu, tak baik dipaksakan menulis cerita,” suara lembut itu berasal dari sebuah senyuman yang menenteramkannya.
“Tapi, tapi .....”
“Tapi apa, sayang? Sudah banyak cerita yang kaukirimkan padaku selama bertahun-tahun ini. Dengar aku kan, sayang? Su-dah ba-nyak sekali. Kalau kamu istirahat barang semalam ini untuk mengumpulkan lagi kata-kata, dan besok kamu rangkai lagi untukku, rasanya tak akan jadi perkara. Istirahat ya, sayang?”
“Ah, tidak, jangan … aku harus menulis lagi.”
“Kamu memang keras kepala, aku tahu. Apa harus kubuktikan, bahwa kamu perlu istirahat dulu? Ayo, ikut aku dulu.”
Perempuan itu tak menunggu jawabannya, sudah menarik lengannya, mengajak menuju jendela. Jendela yang hampir setiap malam dia buka untuk sekadar mengambil udara malam ke dalam paru-parunya, sambil menatap gang sempit yang membosankan di luar kamar kontrakannya yang sempit dan sesak. Sebentar saja biasanya ia lantas menutup lagi jendela itu, sebab bau busuk dari selokan bakal segera menusuk hidungnya.
“Lihat!” suara lembut itu mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Ia merasakan ada yang bersandar di bahunya, menenteramkan perasaannya, tetapi pemandangan di luar jendela segera memukaunya.
“Apa, apa itu, sayang?”
“Setiap kali kamu kirimi aku sebuah cerita, kutulis lagi cerita itu ke dalam selembar kertas, lalu kugantungkan di serial dahan pohon di taman kita. Kamu lihat sekarang, sayang, berapa banyak kertas berwarna-warni yang tergantung di sana? Begitu indah, bukan? Aku selama ini punya banyak waktu untuk menulis semuanya, sebanyak detak jam dinding menghitung penantianku buatmu,” perempuan itu berusaha keras menahan isak.
“Aku tidak pernah mengirimkan cerita-ceritaku, sayang….” “Aku tahu, tapi ceritamu selalu datang, dan datang terus setiap pagi, atau di siang hari, atau di malam hari. Cerita darimu, tentang kamu, tentang kita, tentang waktu dan tentang rindu, selalu datang tanpa pernah absen meski sehari saja.”
“Sayang….”
“Hemmm?”
“Aku tahu apa yang harus kutulis malam ini. Sebentar ya!”
Tak pernah ada sebentar yang benar-benar sebentar. Saat ia membalikkan tubuhnya hendak menuliskan apa yang ada di dalam pikirannya, dentang jam dinding mengembalikan gambaran ruang kamarnya. Suram, sempit, dan sesak. Tak ada gelas teh melati yang berkepul-kepul asapnya, tak ada wangi tubuh yang menenteramkannya, dan tak ada cerita apa lagi yang tersisa. Ia ingin bersedih, tapi tak punya cukup cerita. Ia juga merasa kesal dan ingin marah, tapi tak merasa layak jadi cerita. Ia memilih memejamkan mata, berharap terhisap lagi ke taman cerita yang tak akan ada taman seindah itu, menurutnya.
No comments:
Post a Comment