Waktu sudah beranjak malam, menampilkan lukisan langit hitam pekat tak berawan, dengan bulan bulat penuh yang mengawang sebagai pusat perhatian. Taburan bintang-bintang, kerlap-kerlipnya mengirim isyarat-isyarat tentang makna tujuan dan jarak. Isyarat-isyarat yang tak terlihat. Suasana sedang amat bersahabat, begitu tenang, dan menyenangkan. Mungkin karena kota ini, yang udaranya sering membuat sesak, tadi sore diguyur hujan cukup lebat, meski hanya sejenak. Hujan mengingatkan jiwa-jiwa yang kerap silap, betapa indahnya siklus perjalanan air itu melintasi alam dan menyebarkan manfaat.
“Kamu masih di Taman Pustaka, Ka?”
Ia tercenung memandangi deretan aksara pada layanan perpesanan telepon genggam. Angin berdesir-desir menyejukkan tubuhnya, lambaian dedaunan dan suara kecipak air kolam menemaninya tenggelam di dalam diam. Seusai menghembuskan napas panjang, diraihnya gelas plastik berisi cappucino ice yang sudah habis sebelum waktunya. Ia bangkit, menggerak-gerakkan badan ke kiri ke kanan, sebelum membuang gelas itu ke dalam tong sampah di dekat pojok taman.
“Masih. Kenapa?”
Jari-jari tangannya mulai melanjutkan ketikan yang sempat tersendat. Suasana taman sebenarnya sangat cocok buatnya menulis, tapi terlalu banyak lamunan membuat otaknya penat.
Meski tak sampai penuh, cukup banyak orang yang memilih berada di Taman Pustaka malam Minggu ini. Bukan hanya karena ada suasana taman yang rimbun, asri, dan menyegarkan, dengan lighting-nya yang keren tapi nyaman untuk membaca sambil menikmati kopi dan kudapan, atau karena ada WiFi kencang yang memanjakan, tetapi juga karena ada aturan ketat agar para pengunjung tetap menjaga suasana taman agar selalu tenang.
Taman ini sejatinya tempat membaca di luar ruangan, tak terpisahkan dari gedung perpustakaan. Namun, taman yang tertata rapi dan bersih ini tetap dibuka untuk umum di malam hari, dengan pengawasan petugas keamanan gedung. Khusus malam Minggu, pengunjung boleh bersantai hingga pukul sebelas malam. Sebuah kafe sederhana yang terletak di sudut dekat gerbang utama, menyajikan minuman dan cemilan alakadarnya, dengan harga yang terjangkau mahasiswa dan pelajar, atau anak kosan.
Hampir semua bangku, yang dikelilingi kursi-kursi bulat tanpa sandaran, penuh terisi. Ada pengunjung yang datang berpasangan, membaca dan berdiskusi sembari sesekali saling curi pandang, ada juga yang tampak sedang tugas bersama-sama, mungkin anak-anak kuliahan. Ia, termasuk pengunjung yang datang sendirian, ada beberapa orang yang seperti dirinya.
Ponselnya berbunyi lagi, menampilkan pesan singkat tapi mendebarkan.
“Wait! Aku ke situ sekarang.”
Siang tadi, ia sudah berusaha untuk mengatakan maksud kedatangannya. Setelah menempuh delapan jam perjalanan darat menggunakan sepeda motornya sejak semalam, dan baru memberitahukan kedatangannya pada Manda pada pukul sebelas siang sebagai sebuah kejutan, akhirnya pertemuan yang diangan-angankannya terwujud juga pada jam makan siang.
Manda menemuinya di sebuah restoran kecil yang bersih dan tenang. Dinding ruangannya putih gading, suasananya amat segar karena di sana-sini terdapat pot tanaman yang ditata rapi dan warna hijaunya dominan. Di luar bangunan, beberapa pohon besar juga menaungi halaman, memberi keteduhan di tengah siang hari yang gerah menjelang hujan.
Pilihan Manda pada resto itu tak mengherankannya. Dulu, semasa kuliah, makhluk cantik dan tomboy itu sering mengajaknya makan di tempat-tempat yang serupa. Manda, si pemilih, sering menjadi teman seperjalanannya melewati hutan, mendaki gunung dan berdiskusi tentang pelestarian alam. Hijau adalah warna favorit Manda dan dirinya, salah satu di antara banyak kesamaan yang ada. Semakin ia yakin bahwa Manda begitu mencintai alam dan tumbuhan, semakin yakin juga ia memutuskan untuk mencintai Manda, meski hanya diam-diam.
“Kamu masih tetap pecinta hijau dedaunan,” ucapnya saat mereka sudah duduk berhadap-hadapan.
Manda tersenyum hingga giginya yang putih tampak berbaris rapi. Wajahnya berseri-seri, dan jauh lebih bersih sekarang ini, meski tetap seperti dulu, tak memakai riasan berlebihan. Setidaknya, sekarang dia sudah kerja dan dipaksa untuk dandan, gumamnya dalam hati. Dulu, Manda lebih sering abai atas penampilan, kulitnya yang putih sering terlihat gosong karena sering mengikuti kegiatan di lapangan. Gadis tomboy itu juga lebih sering berdandan seperti laki-laki, dengan celana jins, baju flanel atau baju lapangan, berkalung etnik dan memakai topi. Satu-satunya yang menegaskan bahwa ia perempuan adalah rambut panjangnya yang sering diikat ke belakang.
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri, Ka? Pesan apa nih? Nasi goreng kesukaanmu ada di sini.”
Jawaban Manda mengingatkannya pada sosok gadis itu sepuluh tahun yang lalu, saat masih sama-sama berkegiatan di pecinta alam kampus. Bicaranya selalu ceplas-ceplos, kadang menohok, dan beberapa kawan pernah bilang Manda sebagai ‘datar dan tak berperasaan’. Meski ia kakak kelasnya, tak menyurutkan kebiasaan Manda untuk bicara apa adanya, tak pakai sungkan.
Kebiasaan Manda yang ceplas-ceplos dan kata-katanya yang tajam dan nyelekit, tak membuat teman-temannya sakit hati. Gadis itu tetap eksis karena sangat dibutuhkan. Tak hanya karena paling pintar, dengan nilai akademis tertinggi dibanding teman-temannya sesama penjelajah rimba, tetapi juga karena pada hampir semua kegiatan, orang tua Manda selalu jorjoran memberi dukungan keuangan.
“Kalian ini, sebenarnya cuma butuh duit ortuku!” celetuk Manda suatu hari, disertai tawanya yang khas, keras, dan selalu tanpa beban. Saat itu, sebuah proposal kegiatan penanaman pohon di desa binaan di kaki Gunung Salak sudah selesai disusun dan akan diajukan. Entah iseng atau apa, ia yakin itu hanya iseng, Manda mengusulkan lokasi penanaman dipindahkan ke area pantai utara yang pohon bakaunya makin terkikis.
“Kamu tuh ya, kasian anak-anak baru itu, masak disuruh nyusun proposal lagi dari awal?” bisiknya. Manda mendelik, “udah, diem!” katanya. Ia hanya mengangkat bahu sambil nyengir.
Kegiatan para anggota muda itu akhirnya memang benar-benar pindah ke kawasan hutan bakau yang sedang dihantui proyek reklamasi untuk pembangunan kawasan pemukiman elit. Meski proyeknya masih jauh di negeri dongeng, kerusakan hutan bakaunya sudah mendahului zaman. Yang tak diketahuinya, sebenarnya Manda hanya akal-akalan saja memindahkan kegiatan organisasi ke sana. Kira-kira menjelang tengah hari ia ditarik gadis tomboy itu menjauhi kerumunan para pecinta alam lintas organisasi yang sedang melakukan penanaman bibit bakau.
“Ikut aku, Ka,” perintah Manda waktu itu, “aku sudah pamit sama Ketua, kita ada agenda lain di presidium penyelamatan.”
Ia bingung sebenarnya, sebab presidium penyelamatan hutan tidak punya agenda di hari yang sama, tapi tanpa banyak cingcong diikutinya juga langkah-langkah Manda. Yang tak diketahuinya, ternyata rumah om-nya Manda hanya satu jam saja dari lokasi penanaman bakau. Di sana, di sebuah komplek perumahan yang ukuran satu rumahnya saja membuatanya terbengong-bengong, ia langsung diajak ke bagian belakang rumah yang ternyata punya sandaran yacht masing-masing. Hari yang tak terlupakan itu penuh dengan kekonyolan yang amat memalukan.
“Pah, Manda bawa temen.”
“Wow, ini dia si beruntung, pacarmu, sayang?”
“Aduuuh, Mama, mana ada tampang dia jadi pacar Manda….”
Ia disandera Manda dan sungguh tak berdaya. Siang itu, sorenya, malam, dan hingga keesokan harinya, ia berada di tengah-tengah keluarga besar Manda yang sedang berlibur di Kepulauan Seribu. Manda sengaja beberapa kali menghindarinya, membuat dia terpaksa bicara dengan Om, Papa, Mama, sepupu-sepupu gadis itu, dalam beberapa percakapan yang membuatnya gugup setengah mati.
“Heh, ngelamun aja!”
Tepukan di bahunya berhasil membuyarkan kenangan lama itu. Manda duduk di depannya, dandanannya malam ini lebih santai. Diam-diam ia teringat masa lalu, ketika melihat perempuan itu memakai sandal jepit, sama seperti dulu.
“Kamu nggak akan dicari orang rumah? Malam-malam malah keluar, ke sini,” tanyanya heran.
“Nggak ada orang rumah-orang rumah segala,” Manda tersenyum, “sudah makan malam, Ka?”
Perhatian Manda tetap seperti dulu. Senyumnya juga masih seperti dulu, selalu membuatnya mati kutu. Manda jarang tersenyum, lebih banyak datar di depan teman-temannya, apalagi di hadapan adik tingkat atau junior organisasi. Justru karena itulah hatinya rontok jika melihat senyum Manda tiba-tiba hadir di saat-saat yang tak terduga.
“Aku datang mau minta maaf, tadi siang nggak bisa banyak ngobrol, Ka, padahal sebenarnya …,” penyesalan Manda terdengar tulus, sekaligus renyah dalam manjanya. Kemanjaan itu mulai tumbuh sejak gadis itu ditolongnya ketika terserang sesak napas dalam perjalanan turun dari puncak Gunung Gede. Saat itu Manda masih anggota muda, perempuan satu-satunya dari angkatannya, di antara sembilan belas siswa pendidikan dasar.
“Enggak apa-apa, aku ngerti, kamu pasti sibuk sama pekerjaan,” ia membalas dengan senyuman, lalu meraih layar laptop dan menutupnya.
“Aku baru mencuri baca sedikit, tulisanmu bagus, Ka, di mana bisa kubaca selengkapnya nanti?” nada pertanyaan Manda bersungguh-sungguh.
“Haha, apa sih, ah … cuma tulisan iseng-iseng saja,” ia mengelak.
“Jangan gitu lah, Ka. Sejak dulu aku kan pengagum berat tulisan-tulisanmu, tahu kan? Aku kehilangan bacaan wajibku, sudah lama ini ….”
“Sejak menghilang begitu saja, sekolah ke Amerika nggak bilang-bilang, ya,” ia mengakhiri jawabannya dengan tawa, tetapi terasa ada yang kering dan agak perih di dalam ucapannya. Tawanya berhenti seketika, saat melihat Manda memandangnya dengan sedih. Ia segera menegakkan duduk dan menghamburkan permintaan maaf.
“Nggak apa-apa, Ka,” Manda tersenyum, “bisa aku jelaskan soal itu nanti. Tapi aku ke sini sebenarnya ingin tahu, kamu tiba-tiba datang buat apa, Ka? Kudengar kamu tinggal di pinggir hutan adat, mengasuh anak-anak komunitas lokal dan lebih banyak di sana. Reuni kampus kamu nggak pernah datang. Aku berasumsi kamu sudah memperoleh kenyamanan yang selalu kamu idam-idamkan, hidup di bawah naungan alam raya. Kawan-kawan kita nggak ada yang tahu persis alamatmu, dan sudah beberapa tahun terakhir ini setiap aku datang ke reuni kampus, reuni mapala juga, kamu selalu absen … aku cuma bisa titip data, berharap suatu saat kamu kontak aku.”
Ia menghela napas, mulutnya tiba-tiba tercekat dan tak bisa bicara. Selama beberapa saat ia dan Manda hanya saling tatap, saling lempar tanya dalam diam. Campur baur rasa, entah bagaimana bisa berkumpul pada saat yang sama.
“Aku, aku ke sini … mau mengembalikan buku ini,” ia akhirnya bisa memaksa mulutnya bicara. Tangannya merogoh ke dalam tasnya, mengeluarkan sebuah buku lama yang masih terawat baik, dan menyimpannya di atas meja.
“Astaga …!” mata Manda terbelalak melihat buku itu.
Buku “Janji Sejoli di balik Kawat Berduri” itu sebenarnya berisi catatan harian dan surat seorang pejuang lingkungan yang ditujukan pada kekasihnya. Tak seperti surat-surat cinta yang penuh rayuan dan kata-kata pujaan, sang aktivis malah menuliskan pandangan-pandangannya yang kritis tentang dunia, masyarakat, dan lingkungan, dalam surat-suratnya. Di balik kehalusan kalimat-kalimatnya, tergambar tegas sikapnya yang tanpa kompromi terhadap perusakan alam oleh korporasi hitam yang selalu hanya mencari keuntungan.
“Kamu ke sini cuma mau mengembalikan buku ini? Ya ampuun, jauh-jauh naik motor, angin-anginan, cuma buat ini? Aku aja udah lupa bukunya,” ucap Manda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tetapi matanya tak lepas menatap buku di atas meja.
“Buatku, ini buku yang sangat istimewa, Manda. Bukan cuma karena isinya yang sangat hebat, tapi juga karena seorang Manda mau kalang kabut mencarikannya buatku. Waktu itu bukunya sudah nggak terbit lagi, dan kamu terpaksa telpon sana-sini, lalu akhirnya bisa kontak teman Om kamu yang punya koneksi ke penerbitnya,” tiba-tiba saja ia merasa sangat lancar berbicara.
“Haha, kamu masih ingat saja, Ka. Aku sudah lupa, sudah, lah. Lagi pula, kenapa dikembalikan?”
Ia tak langsung menjawab, menelan ludah dulu, lalu mengumpulkan keberanian yang sudah ditabungnya selama setahun terakhir, tapi buyar begitu saja tadi siang, saat melihat Manda di resto dan sibuk memilihkan makanan untuknya, adegan yang begitu persis seperti sepuluh tahun lalu.
“Harus kukembalikan, atau ya … kubawa pulang lagi jika tak kamu terima. Paling tidak, aku tunjukkan dulu,” ia melemparkan senyum. Manda tiba-tiba tertunduk dan nampak gugup.
“Aku sudah lupa buku itu ….,” suaranya melemah.
“Wajar, Manda. Sudah sepuluh tahun kan,” ia mencoba menghibur dan menenangkan, lalu meraih buku di meja, berniat memasukkannya ke dalam tas untuk menyelamatkan perbincangan malam yang sudah di ambang batas kecanggungan.
“Ka….”
“Ya?”
“Boleh aku lihat bukunya sebentar?”
Ia tak jadi memasukkan buku itu. Buku itu disimpannya di atas meja, seperti meletakkan benda pusaka, dengan perlahan dan hati-hati.
“Kamu pembohong yang buruk, Manda. Dari dulu begitu, tapi ya sudahlah, aku berusaha percaya. Nah, sekarang, sebut, halaman berapa yang ingin aku bukakan di buku ini buat kamu?” ia mengakhiri tanya dengan senyuman.
Sejenak, hanya hening yang tercipta. Waktu sudah mendekati batas akhir Taman Pustaka buka, para pengunjung sudah pulang sebagian. Meski taman lebih lengang, ia merasakan meruaknya kehangatan. Desir angin terhenti dan kolam taman enggan berkecipak lagi. Semua menantikan jawaban Manda.
“Se … sembilan belas, Ka ….”
Ia tak bicara, hanya tangannya yang segera membukakan halaman yang diminta, lalu membalik arah bukunya, menggesernya ke dekat Manda. Perempuan itu setengah gemetar meraihnya, lalu terdiam menatap sebuah kertas kecil yang terselip di halaman 19. Matanya mulai berkaca-kaca, saat membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan di bagian dalamnya.
Ka, simpan buku ini baik-baik ya. Suatu saat aku mungkin bakal minta dikembalikan, kupinjam buat dibaca lagi. Nggak janji baca sih, mungkin aku bakal milih minta diceritakan saja apa isinya. Kamu ceritakan setiap hari pun aku bakal suka. Setiap hari, selamanya, asal kamu yang cerita juga rela. Take care, Ka.
Manda.
No comments:
Post a Comment