Ada beberapa alasan kenapa Mira memilih jarang menemui dokter selama hidupnya. Ia pernah memasuki ruang serba putih saat masih kecil, menemani mamanya yang mengantarkan Papa. Mama tampak tabah, tapi bulir-bulir air matanya terus berderai di pipinya. Mira hanya bisa ikut menangis, ia hanya tahu Papa sakit dan sudah tak bisa bicara. Papanya hanya memandangnya dengan mata yang merah menyala-nyala. Sudah lama Mira merasakan hawa kebencian yang luar biasa dari papanya, bahkan hingga menjelang ajalnya, seolah ia adalah anak kutukan yang membuat semua kebejatan papanya bermula. Padahal sama sekali bukan itu yang sebenarnya, tegas mamanya.
“Papamu … dia punya dunia yang berbeda, yang Mama sekalipun tak paham lagi ke mana arahnya. Dia ingin bebas sebebas-bebasnya, dia memberontak, tapi tak tahu lagi harus pada siapa. Dia tak ingin kita menjadi bebannya,” Mamanya pernah menjelaskan begitu, dan Mira tak pernah bisa memahaminya, hingga sekarang.
Mira tak pernah bertemu lagi dengan Papa. Sejak itu, kehidupan menjadi sangat jauh berbeda. Mira melihat mamanya menjadi wanita yang luar biasa, mengambil semua peran yang dia bisa. Mengurus rumah, membesarkan anak-anaknya, menjalankan usaha, dijalaninya dengan segala kemampuan yang dipunyainya. Beruntung, mamanya punya banyak kepandaian, dan teman di mana-mana. Bisnisnya maju, dan Mira bisa bersekolah dengan amat layak, bahkan lebih baik dibandingkan kebanyakan sebayanya.
Mama adalah idola, panutan, dan Mira sepenuh hati menikmati kemapanannya saat ini, sebagai duplikasi mamanya. Sebenarnya melebihi, dalam berbagai hal. Mamanya dulu hanya punya beberapa puluh pegawai, sementara usaha yang dipegang Mira saat ini sudah jadi salah satu perusahaan terkemuka di bidang marketing dan komunikasi, dengan ratusan karyawan di bawah kendalinya, di banyak cabang di seluruh Indonesia.
Hidup Mira sempurna, mewujudkan banyak yang hilang dalam hidup mamanya. Sedemikian sempurnanya, hingga ia menolak menempatkan laki-laki dalam porsi yang mulia. Tatapan mata papanya, yang masih terus menyimpan kemarahan hingga di ujung hayatnya, di atas tempat periksa, terus membayangi hidupnya. Sesekali ingatan itu menjadi mimpi buruknya. Ia terus berusaha memberi porsi bagi kehadiran laki-laki di rumah tangganya, tapi menyerahkan kepercayaan dan penghargaan sepenuh-penuhnya adalah sesuatu yang mustahil dilakukannya.
***
“Bu Mira, masalah yang dihadapi Kak Rachel ini bukan hanya harus diketahui ibunya, tapi memang ibunya yang harus ada di depan saya, saat ini,” suara dokter senior itu lembut menenangkan tapi amat tegas.
“Baik, dok, saya usahakan segera.”
Mira menghela napas. Pelik benar urusan satu ini. Dania, sahabat dekatnya kini tinggal di Perth, ikut suaminya tinggal di sana. Kedekatan Mira dan Dania sudah berjalan lama, sejak SMA. Yang tak pernah dinyana, apa yang dialami ibu Mira ternyata dialami Dania. Bukan sekali dua kali Dania mengalami kekerasan, dan ia hanya bisa bicara dengan Mira. Saat Dania memutuskan pergi ke Australia, dan tampak amat bahagia, Mira merasa seperti melihat sebuah keajaiban.
Rachel, anak paling besar Dania, memilih tak mau ikut ibunya. Ia memilih kuliah di Bandung, mencari suasana baru dan berharap menggapai cita-citanya. Seminggu yang lalu, gadis yang sebaya dengan anaknya itu tiba-tiba menghubunginya, meminta waktu bertemu. Mira merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan anak itu, meski tak dapat langsung mengatur waktu untuk berjumpa. Akhirnya di hadapan Mira, Rachel mengungkapkan semuanya.
Meski tak dekat dengan ayahnya, yang berpisah dengan ibunya setahun lalu, Rachel juga tak begitu suka, meskipun bukan pula benci, dengan bule yang kini jadi suami baru ibunya. Rachel menyetujui keputusan ibunya menikah lagi, hanya karena ingin melihat ibunya bahagia, seusai melewati pernikahan dengan ayahnya yang lebih mirip seperti neraka. Ibunya kini sudah lebih berisi dan tak pernah lagi punya hiasan lebam di pipi atau kepala.
Meski kini ibunya sudah membaik, berbahagia di dunia barunya, ada sesuatu yang membekas dan tak hilang juga. Sejak SMA Rachel merasa ada yang aneh dengan jiwanya. Jiwa yang sejak kecil disuguhi aroma kekerasan dan penderitaan itu seakan terbelah dan tak tahu harus berada di mana. Separuh perasaannya dipenuhi kebencian pada ayahnya yang selalu menyiksa ibunya, tetapi separuh lainnya juga tak bisa menyetujui semua kelakuan ibunya yang tak lagi memikirkan norma-norma demi menghidupi dirinya dan anak-anaknya.
“Jangan lihat ibu saat kamu tak mau lihat. Kita harus terus bertahan, harus tetap hidup,” ibunya dulu sering bicara seperti itu, dengan lirih, padanya.
Tak ada yang bisa diajak bicara. Rachel memilih menikmati kehidupan dengan kepura-puraan yang sesempurna-sempurnanya. Di luar ia tampak begitu tangguh dan mandiri. Bicaranya lebih dewasa dari umurnya, kemampuannya di atas rata-rata teman-teman kuliahnya. Namun, di dalam ia sangat rapuh dan menderita. Kehidupan yang paradoks itu dijalaninya hingga kini, saat sudah kuliah dan mulai bersiap menyongsong masa dewasa yang begitu menantang semua kemampuannya.
Semua berjalan apa adanya. Nilainya baik, kuliahnya lancar. Di luar ia tak pernah menerima teman laki-laki yang mencoba mendekatinya, atau kehati-hatiannya pada kaum adam yang hampir mendekati paranoid, ia bisa tampil normal seperti yang sewajarnya. Ia membungkus sikap itu dengan kemampuan bergaulnya yang luwes dan tak pernah merendahkan orang lain. Ya, ia memang tak pernah membenci kehidupan, atau manusia.
Ia hanya membenci satu orang saja, ayahnya. Hanya saja, setiap kali ingatan tentang ayahnya muncul, maka ia pasti juga mengingat semua perlakuan lelaki itu pada ibunya. Maka menyala-nyalalah api kebencian dalam dadanya, dan itu menguras semua emosinya.
Diam-diam Rachel membuka arsip lama orang tuanya. Ia tahu dirinya dilahirkan hanya beberapa bulan sesudah hari pernikahan ayah ibunya. Pernikahan itu sebuah keterpaksaan yang tak terelakkan. Ketidaksukaan atas keterpaksaan itu menjadi berbagai umpatan, hinaan, dan kekerasaan yang dirasakan ibunya.
“Kalau tak ada aku, pasti ibu tak harus terjebak dengan laki-laki jahat itu, tak akan menderita ….”
Sudah dua bulan terakhir keadaan Rachel jadi amat tak terkendali. Penyebabnya tak pernah terbayangkan. Ia yang suka dunia fotografi, sedang terlibat dalam sebuah proyek pemotretan model ibukota di salah satu hotel paling terkemuka di Bandung utara. Semua berjalan lancar hingga usai, sama sekali tak ada masalah, pada awalnya.
Hanya saja, saat dua model utama keluar dari lobi, tiba-tiba saja Rachel melihat sesosok om-om berusia jelang paruh baya menjemput mereka. Keduanya tanpa malu-malu menunjukkan kemesraan pada lelaki itu di dalam mobil. Lelaki penjemput, wajahnya tak akan pernah bisa dilupakan Rachel, hanya menatapnya dari jauh, tak menunjukkan riak muka apa-apa, dan kemudian berlalu.
Lelaki itu tak pernah menghubungi Rachel, apalagi membantu kuliahnya. Sekadar bertanya atau menyapa pun tidak. Ia sudah lama merasa dianggap tak ada. Sejak SMA dia akhirnya sering berusaha menyakiti dirinya, dan kehilangan batas normal dan tidak. Akhir-akhir ini suara-suara semakin sering didengarnya.
Sejak dua bulan lalu, sudah lima kali ia mendengar suara-suara itu. “Loncat saja,” ketika berada di balkon apartemen temannya, atau “maju saja!” saat sedang menunggu kereta lewat. Hanya sisa kesadaran yang menghentikannya, tapi pernah pula dia dinasihati seorang bapak-bapak di jalan. “Dek, kalau lelah, istirahat dulu ya,” ucap sesama pengguna jalan itu di lampu merah, karena melihatnya sesenggukan, berurai air mata hingga bahunya bergerak-gerak, meski tanpa suara.
***
Mira menampung semua kisah itu sambil merasakan rasa perih dalam hatinya. Bukan hanya karena melihat penderitaan Rachel sebagai anak sahabat dekatnya, tapi juga karena sebagian kisah anak itu terasa seperti pengalaman hidupnya juga.
“Kamu lanjutkan semua sesi terapi sama psikolog yang Tante kenalkan kemarin, ya Rachel. Setiap jadwal kontrol kamu juga harus datang ke psikiater tadi. Tante lihat dokternya juga baik, enak buat diajak bicara,” Mira mengelus rambut mahasiswi yang sebenarnya amat cantik itu, andai mau lebih mengurus penampilannya.
“Makasih, Tan, udah nemenin Rachel ke sana-sini,” gadis itu mulai berderai lagi air matanya.
“Hsshhh, sudah, ga usah nangis lagi. Kita lagi nunggu makanan, nanti dilihat orang, disangka lagi ada drama.”
Rachel sudah bisa tersenyum dan tertawa kecil sambil menyeka air matanya. Seminggu lalu, dia akan bicara, “aku tak peduli, Tan.”
“Kalau boleh Tante saran, jangan kamu anggap semua laki-laki itu jahat. Kamu kasih lah kesempatan buat orang-orang baik buat mengenalmu, Chel.”
“Orang-orang? Maksudnya, banyakan, Tan?”
Mira dan Rachel menikmati tawa renyah mereka sore itu. Sedikit kegembiraan di antara kisah-kisah yang berat dan menyesakkan dada. Setidaknya sudah ada cercah cahaya untuk esok hari, dan kehidupan harus terus diperjuangkan.
“Laki-laki tetap berharga dan harus diberi kemuliannya, Rachel. Laki-laki yang tidak sempurna, tapi sanggup mengakui ketidaksempurnaannya padamu, dan mau menyayangimu apa adanya.”
Telpon genggam Mira berbunyi. Suaminya tak biasanya berani menelepon saat ia sedang ada urusan, sudah ia tegaskan.
“Ma, maaf mengganggumu … kalau diizinkan, aku mau pulang dulu menengok Ibu di kampung. Katanya lagi agak sakit. Kalau boleh saja, Ma, sekalian aku kan sudah setahun ini tak pulang. Kalau nggak boleh, ya nggak apa-apa, Ma. Gimana?”
No comments:
Post a Comment