• Cek Yuk!

    05 December 2021

    Rumah Kecil untuk Pulang


    "Kamu ada di mana?" teriakan itu tetap terdengar menggelegar, meski dari kejauhan. Ia hanya dapat menghela napas dan menjauhkan dulu speaker ponsel dari telinganya. Matanya mulai berkaca-kaca dan menyala, tapi sekuat tenaga ia menahan gelegak di dalam dadanya.

    "Aku terhalang hujan di jalan, tadinya kupikir pagi ini bagus buat jogging sebentar, biar ...," suaranya lemah saat menjawab.

    "Apa? Kamu..., kamu jogging? Kamu malah keluar pagi ini?"

    "Iya, ini masih di separuh perjalanan...."

    Tak banyak yang bisa diucapkannya. Selanjutnya, sebagaimana sudah diduganya, rentetan kata-kata berhamburan ke telinganya, dan ia lebih banyak mendengar, mencoba menerima semuanya dengan sabar, lalu mengendapkan kata-kata itu di dalam alam pikirannya.

    Tak ada yang tahu, ia punya sumur khusus di pekarangan belakang rumah kecil yang terpencil, di alam pikiran. Sumur itu dipakainya untuk mengendapkan semua teriakan, hinaan, dan makian. Sumur yang tak berdasar itu tak pernah penuh, dan selalu bisa menampung segalanya. Kalau ia kehausan lalu menimba di sumur itu, yang didapatnya adalah anggur merah yang dingin dan tak memabukkan, tetapi amat menenangkan.

    Rumah kecil itu terletak di tengah-tengah padang rumput alam pikiran, yang luasnya tak terbatas dan selalu menghijau. Ia sering mencoba menghitung luas halaman rumah kecilnya, dengan berlari mencapai batas padang rumputnya dengan hutan atau tepi lautan. Namun, tak pernah sampai, meski hutan dan tepi lautnya selalu kelihatan. Sekuat apapun ia berlari dan berjalan, selalu gagal. Ia tak bisa mencapai ujung area rerumputan.

    Meski sangat bersyukur karena cuaca di sana selalu cerah, dengan langit birunya yang amat indah, dan udara yang selalu sejuk menyegarkan. Selama apapun ia berjalan di padang rumput itu, tak pernah dirasakannya rasa lelah. Ia tak merasakan apapun lagi, kecuali haus yang jarang. Ia juga tak mempermasalahkan tentang jarak dan waktu, sebab kedua hal itu sudah tak bermakna.

    Selama apapun ia berjalan, sejauh apapun ia berlari, jika ia memutuskan untuk berhenti dan duduk untuk menikmati hamparan rumput yang serupa permadani hijau dan empuk, meerasakan hembusan semilir angin yang menyegarkan, lalu ia menoleh ke belakang, ia akan tersenyum dengan mata berbinar-binar. Ia selalu sedang duduk hanya beberapa langkah saja dari rumah kecilnya itu. Ia biasanya bersujud sembari berkaca-kaca, menikmati kebersyukuran. Rumah kecilnya yang dikelilingi ribuan bunga kecil berwarna putih yang selalu mekar, wangi dan tak pernah layu, selalu ada di dekatnya. Rumah itu tak pernah bisa ditinggalkannya, dan ia tak harus pulang.

    "Pulang! Sekarang! Kamu kan tahu hari ini aku ada acara golf sama ibu-ibu dari pusat! Ada saja alasanmu menghambatmu, apa karena mau diajak gratisan?"

    Ia hendak menjawab, tapi sudah terdengar sambungan telepon diputuskan. Tatapan matanya hampa saat mulai bangkit dan melangkahkan kakinya di atas trotoar yang basah. Hanya beberapa langkah, tak jauh dan sekejap saja, suara derit ban dan tumbukan menghentak pagi yang kelabu. Tanpa teriakan atau keluhan, ia tersenyum di atas permukaan aspal. Sesungguhnya, ia terbaring di atas rerumputan hijau, dan mulutnya menyunggingkan senyuman.

    Rintik hujan masih turun, tapi rumah kecil di alam pikiran terang benderang oleh pelangi yang berkilauan. Rumah itu mengalunkan melodi indah dan lembut yang membawa kedamaian.

    Sebuah Pertigaan, 5/12/21

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi