• Cek Yuk!

    15 January 2022

    Asmara Tanpa Rahasia


    Sore yang sejuk di Jalan Dipati Ukur, tapi tak jua meredakan kegundahan Meta. Pada menit ketigapuluh selepas pukul empat, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kafe tempatnya menunggu. Hatinya sudah panas, dan rasa muak sudah tak tertahan lagi.

    "Please, Met, yang terakhir kalinya aku mohon," pinta Dani pagi tadi, merengek di ujung telepon, "kasih aku kesempatan buat menjelaskan semuanya, biar kamu ngerti kalau aku tuh ...."

    "Aah, sudahlah, Dan," potong Meta sambil menghembuskan kekesalannya lewat dengus yang sengaja diperdengarkannya keras-keras, "aku sudah bosan, alasan lagi, alasan melulu. Terakhir kemarin, aku juga akhirnya pulang sehabis nunggu kamu hampir satu jam, bayangin satu jam, di Dago Atas!"

    "Iya, maafkan, Met, nanti aku jelaskan ...."

    Hening sejenak.

    "Sepertinya sudah nggak ada lagi yang perlu dipertahankan, Dan. Kita tidak bisa begini terus," suara Meta melembut, meski hatinya masih tetap kesal.

    "Aku ngerti, Met, tapi kasih aku waktu nanti sore, ya. Kita ketemu dulu. Sesudah aku jelaskan, aku pasrah apa keputusanmu, biarpun aku masih ingin terus sama kamu. Nggak mungkin juga aku maksa, kan. Paling tidak, kita ketemu dulu dan bicarakan semuanya baik-baik. Ok?"

    Persetujuan atas bujukan Dani itulah yang membuat Meta kini terjebak lagi. Lemon tea yang dipesannya masih utuh, tapi kesabarannya sudah habis. Ia memilih pulang dan sudah waktunya mulai melupakan Dani, laki-laki yang selama ini jadi tumpuan harapannya. Tiga kali dia dibuat menunggu, dan yang terakhir ini sudah cukup jadi yang terakhir.

    Tepat ketika sampai di halaman kafe, sesosok laki-laki tegap menghampirinya. Dani, tersenyum tanpa rasa bersalah. Meta masih kesal, tapi sesuatu yang memenuhi isi hatinya membuat ia diam saja saat Dani menggamit tangannya lalu mengajak ke meja di pojok ruangan.

    Dani sebetulnya biasa saja, tapi sosoknya yang gagah dan tegas mengingatkan Meta pada mendiang ayahnya. Sejak jumpa pertama kali di sebuah acara seminar tentang politik kebangsaan, sosok Dani perlahan mengisi ruang kerinduannya.

    "Met, pertemuan pertama, aku minta maaf ada kegiatan mendadak. Yang kedua, aku harus ke luar kota ikut pimpinan, juga mendadak. Yang ketiga, ya itu ... aku terlambat," Dani buka suara sesudah mereka berdua duduk.

    "Aku nggak bisa seperti ini terus, Dan. Buatku, kamu nggak serius!" Meta mencoba menahan suaranya agar terdengar setenang mungkin, ia menunduk.

    "Sebenarnya, tiga kali aku nggak nemuin kamu, itu semua sengaja, Met," ucapan Dani langsung disambut sepasang mata yang membesar dan siap menyala.

    "Maksud kamu?"

    "Sabar, sabar. Aku pesan minuman dan cemilan kesukaanmu dulu, ya."

    "What?"

    Tak hirau raut muka Meta, Dani beranjak ke pojok barista, memesan minuman dan camilan. Meta mengikutinya setiap gerak-geriknya dengan pandangan mata penuh rasa gemas dan penasaran.

    "Aku sengaja, Met," ucap Dani tak lama kemudian, saat sudah duduk lagi di hadapan Meta.

    "Buat apa? Sudah bukan zamannya kita main jahil-jahilan seperti itu."

    "Waktu janji yang pertama," Dani seolah tak hirau jawaban Meta, "aku pulang ke kampung, tanya Ibu apakah boleh aku ajak calonku sebulan lagi, buat diperkenalkan."

    Ada degup keras di dada Meta, berlanjut debaran yang membuat wajahnya mulai merona.

    "Laki-laki memang pintar mencari cara apa saja biar dimaafkan ...."

    "Waktu janji yang kedua, aku memang benar-benar ada perintah atasan, tak bisa kutolak. Waktu janji yang ketiga, aku ada di kafe seberang jalan dari tempatmu menunggu."

    "Astaga ...."

    Meta tak benar-benar kaget. Saat kedua bola matanya menyambut sorot tatapan Dani yang teduh dan bersungguh-sungguh, kesal di hatinya sudah langsung luruh.

    "Ketiganya memang sengaja, Met. Aku ingin tahu di mana batas kesabaranmu."

    "Kamu aneh. Apa harus ada ujian segala, seperti ini? Kenapa?"

    Dani tersenyum sebelum bersikap sopan seperti biasanya, satu hal yang mencuri hati Meta, "boleh kupegang tanganmu, Met?"

    "Hmmm, ya. Boleh."

    "Met, maafkan, ada hal penting yang belum aku buka selama ini, karena memang tak bisa. Aku ingin memastikan, kalau kamu orang yang tepat. Aku kerja di tempat yang tak pernah ada, dan tak bisa diketahui siapa-siapa. Aku ... bukan sekadar mahasiswa pasca biasa yang kamu kenal. Aku bisa pergi kapan saja saat ada perintah datang, dan kadang untuk waktu yang lama."

    "Dan, manusia seperti itu, bukan orang baru buatku," Meta akhirnya melepas senyum manisnya. Sekilas, ia bisa melihat riak di muka Dani, yang segera membetulkan duduknya, mengurangi pengaruh senyum itu yang luar biasa.

    "Aku ... aku tahu, Meta. Kamu, Meta Andini, anak tunggal Letkol Budi Martaji, ditinggal ayahmu yang gugur pada misi perdamaian di Timur Tengah, ibumu mantan perwira juga, tapi resign. Latar belakangmu aku baca semua, tapi aku harus tahu dulu kamu seperti apa. Sekarang, aku tahu almarhum ayahmu sudah mendidikmu dengan sempurna."

    "Tak ada yang sempurna."

    "Oya? Baiklah, aku bisa setuju," Dani menggenggamkan tangannya lebih erat, "tapi boleh kan aku bawa manusia tak sempurna tapi cantik jelita ini dua minggu lagi ke depan ibuku?"

    "Gombal!"

    "Serius dong, Met."

    "Hmmm, mudah-mudahan Ibu Riana ibumu, dan Enda adikmu, semua suka sama aku, dan perjalanan ke Karimunjawa nggak ketemu ombak berbahaya. Aku tahu kamu dari marinir, dan pernah berenang di Selat Madura, Dan, tapi kan aku tetap harus jaga-jaga juga. Biarpun kamu ranking pertama di SMA dan peraih olimpiade matematika, yang membuatmu penuh perhitungan, tapi yah ... aku tak mau bergantung begitu saja."

    Dani sejak tadi tanpa sadar melepaskan genggamannya, dan menarik tangannya. Ia terbengong-bengong di depan Meta.

    "Percaya atau tidak, teman Mama duduk di sebuah ruangan yang nggak pernah ada di Mabes, Dan," suara Meta sudah renyah lagi, dan Dani hanya bisa pasrah sambil menutup muka dengan telapak tangan kanannya.

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi