"Pak, apakah aku boleh membantumu mengirim gerabah ke Pasar Kranggan besok?"
"Tidak, nak, jangan. Ndak usah. Biarlah Bapak saja."
"Lho, kenapa, Pak? Bapak selalu saja tak membolehkan, setiap kali aku pengin membantu. Izinkan aku meringankan bebanmu, Pak, nggih?"
"Niatmu baik, terima kasih, nak. Hanya saja, berbicara tentang beban, sebenarnya bebanku tak seberapa jika dibandingkan dengan bebanmu. Jadi ini tak apa-apa, ora masalah, nak. Tetap pusatkan perhatianmu pada kuliah saja. Kuliah yang siang malam aku dan ibumu perjuangkan sekuat tenaga. Apapun kami sudah, sedang, dan akan kami lakukan buatmu, demi kamu. Kalau hanya sekadar membawa gerabah, membuatnya dari pagi hingga sore hari, bergelut dengan tanah liat, membakarnya biar jadi tembikar, atau harus berganti kerja dengan menggarap sawah tetangga, dan ibumu juga menunggu angkringan kita hingga larut malam..., semua itu tak seberapa beratnya, nak. Kamulah yang bakal memikul beban paling berat pada saatnya."
"Maksud Bapak gimana, toh?"
"Raih ilmu setinggi-tingginya, nak. Ilmu itu yang bakal jadi tanggung jawabmu. Itu bebanmu yang luar biasa, makanya kamu harus meraihnya dengan sepenuh hati, segenap jiwa. Iya, dengan hati yang siap, jiwa yang genap, biar kamu jadi manusia berilmu yang mantap dan lengkap."
"Aku kok jadi agak takut ya, Pak? Pripun niki ...."
"Ya jangan jadi takut tho, nak. Kamu lupa ya, di samping jadi beban, ilmu itu pula yang bakal jadi kekuatan. Dengan ilmu itu, kamu bisa jadi manusia yang paling berguna, paling bermanfaat, dan paling bermartabat. Kalau sudah begitu, kamu jadi manusia yang paling mulia. Bapak dan Ibu akan sangat bersyukur jika didoakan anak seperti itu. Tak ada kebahagiaan melebihi itu, nak. Tak akan terbeli oleh apapun kebahagiannya."
"Pak ...."
"Apa, nak? Ealah, kok malah sungkem, toh?"
"Mmm, matur nuwun, Pak ...."
Penulis: @fiksijogja
No comments:
Post a Comment