Sudah sering sebenarnya Naya mendengar rumor yang cukup mengganggu itu, tapi selama ini ia tak pernah mengalaminya secara langsung. Meskipun keramahan dosen pembimbingnya yang satu itu kadang dirasakannya agak berlebihan, dan begitu intens setiap kali ia menghadap sambil menyerahkan laporan penelitian, ia masih tetap berusaha menahan diri dan tidak menganggap itu sebuah pertanda buruk.
“Hati-hati, Naya, banyak yang bilang dia sudah banyak makan korban, tapi enggak pernah terungkap,” Delia, sahabatnya, suatu kali sambil setengah berbisik memberitahunya dengan raut muka khawatir.
Awalnya, Naya masih menganggap kabar itu sekadar gunjingan dari mereka yang mungkin mendapat kesulitan menyelesaikan bimbingan skripsinya. Ia sendiri sempat merasa kagum atas sosok Harya Suman, pembimbing keduanya yang masih muda, tampak smart betul, peraih gelar Ph.D di Amerika, dan punya kemampuan retorika yang sangat menarik. Sejujurnya, Naya juga mengakui ada kharisma tersendiri pada laki-laki berusia 38 tahun yang enerjik dan selalu tampil necis itu.
Jalani saja, tak usah takut. Sesuatu di dalam dirinya selalu membisikkan dorongan itu untuk tak gentar menjalaninya. Lagipula keputusan sudah dibuat kampus untuk dirinya. Tak mudah meminta pergantian pembimbing tanpa alasan yang jelas.
Namun, sejak menyadari bahwa perlahan perlakuan Harya Suman padanya mulai berbeda, Naya mencium gelagat buruk yang meresahkannya. Teman-teman seangkatannya yang mendapat bimbingan Harya Suman satu persatu menyelesaikan skripsinya, dan segera mendapat jadwal sidang komprehensif, tapi ia dan dua kawan lain tak kunjung selesai juga merampungkan bab kelimanya.
Naya tak habis pikir, sebab nilai akademiknya sebenarnya lebih unggul dari beberapa teman yang sudah lebih dulu selesai bimbingannya. Ia makin yakin ada sesuatu yang salah, ketika jadwal pertemuannya dengan Harya Suman akhir-akhir ini mulai disimpan di sore hari, ketika kampus mulai sepi dan ia dijadwalkan menghadap sendiri. Alasannya, tentu saja menunggu Harya Suman selesai mengajar dulu, yang Naya tahu tak selalu sesuai dengan jadwal perkuliahan yang diam-diam diperiksanya.
“Biar lebih leluasa dan panjang waktunya, Kanaya, sebab skripsi kamu bobotnya lain dari teman-teman kamu,” ucap Harya Suman suatu sore, sambil matanya menatap Naya lekat-lekat, seolah sedang meneliti setiap inci tubuh gadis manis berambut panjang di hadapannya. Laki-laki yang harum tubuhnya mendominasi seisi ruangan itu bahkan menawarkan untuk memindahkan tempat bimbingan di luar kampus, dengan alasan bisa lebih santai dan tenang, sesuatu yang secara halus langsung Naya tolak.
Siang tadi, sesudah Naya memendam kekesalannya sekian lama, karena proses bimbingan yang berlarut-larut, sebuah pesan WhatsApp membawa pikirannya ke puncak kekesalan.
“Kanaya, pertemuan kita undur besok. Saya ada seminar dari pagi sampai malam di Grand Ravana Hotel. Saya tunggu 15.30 WIB di lobi ya. Kita selesaikan bab lima.” Pesan itu mengingatkannya pada cerita Delia, tentang isu lama yang konon tak hanya menimpa satu orang saja. Nah, cukup sudah aku bersabar, teriaknya dalam hati.
“Baik, Pak.”
Naya tiba di rumahnya dengan wajah amat keruh. Ia belum menjawab pesan Harya Suman, sebab kemarahan sudah menguasai hatinya, lebih cepat daripada yang diduganya. Sudah berminggu-minggu ia menggarap skripsi itu, siang dan malam, kadang sampai tak tidur, tapi kini semuanya akan dihadapkan pada penyimpangan kekuasaan. Jika pembimbing keduanya belum juga memberikan persetujuan, jalan kelulusannya akan terhambat, padahal tenggat waktu pendaftaran sidang makin dekat. Ia tahu, Prof. Darma, pembimbing satu, hanya akan memeriksa secara singkat saja dan tak pernah pelit untuk memberi persetujuan sidang.
Rumah seringkali sepi ditinggal semua orang. Ayah masih di kantornya, dan Ibu sepertinya pergi ke Tante Mita, untuk bicara soal ini-itu yang kadang tak ada ujungnya. Ibu bisa seharian di sana, apalagi adik satu-satunya itu selalu punya kudapan yang tak ada habis-habisnya. Naya juga belum melihat motor Evan, adiknya, di depan. Adik laki-lakinya itu biasanya menghabiskan sore dengan bermain basket dan baru pulang sesudah magrib.
Naya memilih segera duduk di meja besar di ruang makan. Ruangan itu terletak di bagian belakang rumah, berdekatan dengan kamarnya dan kamar kosong yang biasanya hanya diisi kakek-neneknya kalau datang. Dua kamar di belakang, sebenarnya bangunan tambahan, sementara kamar-kamar lain ada di depan, dekat ruang tengah. Buat Naya, itu malah menguntungkan, sebab ia butuh konsentrasi dan ketenangan untuk menyelesaikan tugasnya.
Alih-alih makan, ia langsung membuka laptop dan memeriksa skripsinya, dan ini entah untuk yang entah keberapa kalinya. Bab 5 pun sebenarnya sudah diperiksanya berulang-ulang, dan ia sering disebut teman-temannya terlalu perfeksionis, tapi ia tak rela ada satu pun celah kesalahan dalam penulisan, yang akan membuat Harya Suman punya alasan untuk menunda lagi persetujuan.
Bayangan pertemuan dengan dosen itu besok sore di lobi hotel tiba-tiba membuatnya merinding, dan bersamaan dengan perasaan kuatir yang menyeruak di batinnya, tiba-tiba pintu kulkas di pojok ruangan terbuka sendiri.
“Oh, come on … tidak usah ganggu, please. Aku sudah cukup pusing!” pintanya setengah memelas. Tak urung, ia tetap beranjak dan bermaksud menutup pintu lemari pendingin itu. Namun, gerakan tangannya tertahan, saat pandangannya terantuk pada toples bening berisi makanan kesukaannya.
“Aih, asinan! Thanks mommy,” gumamnya senang. Ibu, engkau memang selalu tahu cara memberi hiburan terbaik buat anakmu yang sedang galau, bisik Naya dalam hati, dan seulas senyuman segera menghiasi wajahnya. Tangannya segera meraih toples asinan, lalu menutup pintu kulkas dan bergerak mencari sendok, sebelum akhirnya kembali duduk di depan laptopnya.
Matanya merayapi deretan huruf demi huruf skripsinya, satu persatu, meneliti redaksional penulisan yang kadang tak sadar terisi typo, sambil sesekali tangannya juga menyuapkan asinan bogor yang segar dan sedikit pedas itu ke mulutnya perlahan-lahan. Naya asyik dalam kegiatannya, tenggelam dalam keseriusannya, meski rasa kesalnya masih belum memudar.
Handphone-nya berbunyi, dan sebuah pesan muncul di layarnya. “Besok sore di Grand Ravana. Tidak usah di lobi ya, saya tunggu di room A809. Daftar sidang sudah mau ditutup dan Minggu depan saya banyak agenda. Kita selesaikan besok saja.”
Naya mendengus marah, matanya berkilat-kilat. Dosen itu terkenal pintar, tapi hasrat kotornya sudah membuatnya begitu bodoh, dan mengulang muslihat yang sama. Muslihat ini persis seperti yang diceritakan Delia padanya. Modus operandi kejahatan yang serupa untuk para calon korban yang sedang tergantung nasibnya pada tanda tangannya. Napas Naya naik turun dan ia ingin rasanya membanting handphone di genggamannya.
“Banyak orang memilih lari dari masalahnya,” tiba-tiba suara berat dan berwibawa terdengar dari arah kanannya. Toples di tangan kiri Naya hampir terlepas karena kekagetannya, dan ia segera menoleh. Naya menemukan sesosok lelaki tua dengan baju dan peci putih bersih sedang duduk memperhatikannya sambil tersenyum.
“Ya ampuuun, Atuk … kapan Atuk dataang?” pekik Naya tertahan. Matanya yang sedang memercikkan api kemarahan sontak berubah menjadi berbinar-binar gembira. Atuk adalah kakek kesayangan yang sejak kecil menjadi orang tua, guru, sekaligus teman terbaiknya. Kehadiran Atuk selalu dirindukannya.
“Banyak yang memilih lari dari masalah, Naya, tapi Atuk yakin kamu lebih hebat dari sekadar orang seperti itu. Kamu bukan cuma bisa menghadapi, tapi juga bisa menyelesaikan masalah. Kamu mampu menyelamatkan dirimu, bahkan mungkin banyak orang lain, dengan keberanianmu. Keberanianmu … hmm, agak sedikit mirip lah ya dengan Atuk waktu masih muda! Ha ha.” Ucapan Atuk diakhiri tawa khasnya yang menggoda. Lelaki yang rambutnya sudah memutih semua itu membetulkan posisi peci putihnya, yang sebenarnya tak pernah salah dan pasti selalu rapi, sebelum menunjuk pada sebuah foto di tengah ruangan.
Kegagahan Atuk di masa mudanya, pada foto lawas yang direproduksi dan dibesarkan ukurannya itu, tampak jelas dan tegas. Raut wajah yang tampan dan penuh wibawa itu sesuai benar dengan pakaiannya, seragam tentara zaman dulu yang bersahaja. Tanpa terlalu banya tanda pangkat dan kehormatan, fokus foto itu berada pada kharisma raut muka dan sorot mata. Konon foto itu diambil beberapa bulan sebelum meletusnya PRRI Permesta.
Naya tak pernah bosan menatap foto Atuk lekat-lekat, meresapi kegagahan kakeknya yang sampai hari tuanya selalu berapi-api jika menceritakan tentang makna merdeka, dan mengisahkan perjuangan orang-orang yang dikenalnya, yang sudah berkorban jiwa raga untuk meraih dan mempertahankan kedaulatan negara. Pasti Atuk bakal ikut marah kalau tahu ada orang yang memanfaatkan kedudukannya untuk merusak masa depan anak bangsa yang harusnya dibimbingnya. Naya meyakini pikirannya.
Namun, Naya tak melihat lagi Atuk di kursinya, saat ingin mengadukan nasibnya. Pintu kamar Atuk tertutup, tapi terdengar suara radio dari dalamnya. Atuk biasa menyetel ceramah agama dari RRI sambil menunggu magrib tiba.
Pagi-pagi benar, Naya sudah berangkat ke kampusnya. Ia bahkan hanya sempat berpamitan sambil terburu-buru pada ibunya di halaman depan, sementara Atuk nampaknya belum pulang dari masjid semenjak subuh. Seharian ia menghabiskan waktunya di perpustakaan dan baru puas dengan draft finalnya lewat tengah hari.
Benar saja, Harya Suman, tak ada di lobi Grand Ravana Hotel pada pukul 15.30 sore itu. Naya butuh waktu 5 menit untuk mencari lift, naik ke atas dan akhirnya berdiri di depan pintu kamar A819. Ia segera mengetuk pintu, yang segera terbuka, menandakan ia sedang ditunggu-tunggu penghuninya.
“Ayo, mejanya di sebelah sana. Pintu saya biarkan terbuka ya.”
Terdapat dua gelas minuman dan dua piring kecil kudapan yang disediakan di meja. Saat Harya Suman membalikkan badannya untuk mengambil tasnya, cepat-cepat dua gelas itu ditukar posisinya oleh Naya. Sesudahnya, ia menyimpan skripsinya di atas meja.
“Saya mohon maaf tidak bisa lama, Pak. Sore ini saya harus ke lokasi penelitian lagi, ditunggu para responden,” Naya mendahului bimbingan skripsi sesi khusus di hotel berbintang lima itu.
“Lho, ngapain? Bukannya urusan kamu di sana sudah selesai?” Harya Suman heran. Ia sudah memakai kacamatanya dan duduk di depan Naya. Tak lama, laki-laki itu seolah sibuk membaca draft skripsi Naya, mengangguk-angguk pada saat memeriksa halaman tertentu, dan kemudian menatap gadis berpakaian casual di depannya. Naya berdandan beda dari biasanya, tampak lebih cantik dan bercahaya. Harya Suman berdesir-desir melihat pemandangan yang istimewa ini.
“Ya sudah, ayo minum dulu kalau begitu,” ucapnya sambil meneguk minuman dari gelasnya. Ia memberi isyarat dengan matanya, tapi Naya tak bergeming.
“Responden saya memang para ibu, Pak, tapi tema penelitian saya kebetulan sejalan dengan program dari tempat kerja para suaminya. Saya diminta memberi gambaran tentang hasilnya. Tadinya saya minta izin menyampaikan sesudah skripsi selesai, tapi karena sudah terlalu lama belum acc juga, yang saya nggak tahu kenapa, saya nggak enak Pak kalau menunda lagi presentasinya,” Naya berusaha keras menahan perasaannya pada saat memulai bicara, tapi akhirnya nada suaranya semakin tegas dan pasti.
“Tempat kerja para suaminya?” Harya Suman pura-pura tertarik dan menatap tajam Naya, tapi segera saja gadis itu tahu apa yang dilihat dosennya tanpa berkedip.
“Betul, Pak, saya menarik hubungan antara analisis psikologis dan tingkah laku dengan pengambilan keputusan dalam pembelian produk oleh para ibu. Rupanya ini menarik untuk diketahui pimpinan para suaminya.”
“Menarik juga,” Harya Suman menyimpan draft skripsi di meja, tangannya bergerak menyentuh tangan Naya, “ayo, dimakan kudapannya. Periksa skripsinya sebentar saja, sesudahnya temani saya dulu, ya.”
“Terima kasih, Pak, masih kenyang. Lagian, selama skripsi saya belum di-acc, saya akhir-akhir ini tak terlalu berselera makan,” rasa risih dan jijik mulai mengganggu pikiran Naya, tapi ia bertekad menyelesaikan kata-katanya, “Begini, Pak, meskipun para suami dari responden saya sekarang relatif sudah lebih baik gaji dan tunjangannya, tapi tetap saja pimpinan dan pembina mereka harus selalu mendorong penggunaan dana yang terbatas untuk masa depan yang lebih baik. Saya sudah minta waktu untuk menyelesaikan dulu skripsi saya, Pak, tapi bimbingan saya ternyata lebih lama dari teman-teman lain, jadi ….”
“Saya tidak bermaksud memperlambat kamu, kalau itu yang kamu pikirkan,” nada Harya Suman sedikit naik, tetapi laki-laki itu mencoba tetap tersenyum, sambil terus memandangi wajah Naya yang langsat dan segar.
“Saya tidak bilang begitu, Pak, tapi Pak Komandan memang pernah tanya seperti itu pada saya. Dia kuatir skripsi saya bermasalah.”
“Komandan?” Harya Suman mengernyitkan muka.
“Betul, Pak. Responden saya semuanya istri tentara, masih satu batalyon.” Naya dapat melihat ada riak kecil pada wajah Harya Suman yang biasanya sangat tenang dan penuh kepercayaan pada dirinya sendiri.
“Komandan ini saudara kamu, Kanaya?” Terasa sekali oleh Naya, ada nada kekuatiran pada pertanyaan Harya Suman.
“Bukan, Pak.”
“Oh, gitu ya.” Wajah lelaki yang tadi tampak penuh semangat, lalu sempat memucat, kini cerah kembali.
“Kalau komandannya bukan saudara saya, Pak, tapi yang memberi rekomendasi untuk mengambil lokasi responden ke sana memang om saya, adik ayah saya, kebetulan komandan batalyon ini pernah jadi anak buahnya beberapa tahun yang lalu. Sekarang Om saya nunggu di lobi, Pak.”
Naya meninggalkan lobi dengan senyum kemenangan. Minggu depan ia sudah bisa mendaftarkan diri untuk sidang, sebab draftnya sudah di-acc sepenuhnya. Tinggal Prof Darma saja yang ia yakin tak akan sulit untuk mendapatkan persetujuannya. Om Bima, seorang perwira di Mabes yang lebih dikenal Naya karena pintar main gitar, menyanyi dan punya banyak cerita lucu, tak pernah hadir di lobi Grand Ravana Hotel, tapi Naya tak lupa mengucapkan terima kasih atas kiriman asinan dari istrinya, Tante Mira. Sementara itu, Harya Suman baru terbangun lewat tengah malam dengan kepala pengar, akibat minuman yang dihabiskannya.
Tiba di rumah, Naya segera menghambur ke ruang makan. Ia menemukan ibu, ayah, dan adiknya sedang lahap menyantap hidangan. Seusai mengumumkan acc skripsi dan rencana daftar jadwal sidang, ia celingukan.
“Atuk mana Bu, Yah, sudah tidur jam segini?”
“Astaga … serius ngurus skripsi boleh, Kak, tapi jangan sampai linglung gitu, lah. Atuk kan di Palembang. Gimana sih? Bulan depan baru kemari,” jawab adiknya, Evan, diakhiri tawa.
No comments:
Post a Comment