• Cek Yuk!

    10 March 2022

    Perjumpaan di Atas Bukit


    Ia mempercepat langkahnya. Deru napasnya yang tersengal, sesekali menjadi uap putih yang menyembur ke udara, membumbung, lalu terurai pada lukisan pagi yang masih redup. Mentari sebenarnya sudah hadir sejak tadi, tapi cahayanya tertahan rimbun pepohonan. Sebagian cahayanya menerobos relung-relung di dedaunan, membentuk garis-garis keemasan yang memesona pandangan.

    Hari baru dengan langit biru yang luas dan memberi jutaan harapan, selalu dirindukannya saat pendakiannya sudah mencapai setengah perjalanan. Jika ia mulai naik pada sekitar pukul lima pagi, maka setengah jam kemudian langkahnya sudah berada di lokasi ini, sebuah pelataran dengan penanda sepasang pohon beringin yang gagah dan usianya mungkin lebih tua daripada umur kakeknya kalau masih hidup.

    “Apa sih yang membuatmu keranjingan naik ke bukit itu?” Seorang teman kuliahnya pernah bertanya seperti itu. Ia hanya tersenyum, memandang temannya yang sebenarnya seumuran, tetapi raut wajahnya tampak begitu tua dan lelah itu. “Kan kamu tahu, sejak kuliah dulu aku memang suka naik gunung,” jawabnya.

    Harapannya tak pernah surut untuk mendaki dan mendaki lagi jalan yang sedang ditapakinya. Paling tidak sebulan sekali ia mengunjungi bukit ini. Jalur jalan pagi favoritnya ini entah sudah berapa kali disusurinya, tak terhitung lagi, mungkin ribuan kali. Itu jika dihitung sejak kali pertama kali menyambanginya pada semester ketiga kuliahnya, puluhan tahun silam.

    Seorang teman dekatnya yang lain pernah mengingatkan, “Kamu teh jangan keras kepala, ingat umur, bro. Jalan santai di jalur datar saja kenapa, sih?” Ia lagi-lagi menjawabnya sambil tersenyum. “Tenang aja, bro, ini kan cuma jalan di belakang rumah saja.”

    Tentu saja, jalan setapak di belakang rumah. Sejak ia memutuskan menggeluti usaha kecilnya di rumah saja, dan menghapus peluang bekerja di kantor di gedung pencakar langit di ibukota─sesuatu yang pernah dipikirkannya menjelang lulus kuliah dulu, maka ia pun tanpa ragu-ragu memutuskan mencari lahan di kaki Gunung Geulis, lokasi yang sungguh bersejarah dalam hidupnya.

    Perjuangan kerasnya, siang dan malam, 365 hari setahun, 7 hari seminggu, yang mengantarkannya memiliki rumah mungil tapi artistik di bibir hutan di kaki bukit yang dipanggil gunung itu. Saat ia mulai menyadari uban menyerbu kepalanya, ia tersadar bahwa rumahnya bukan lagi rumah semata wayang di kaki bukit. Beragam perumahan dengan berbagai berbagai ukuran, tipe, dan desain, kini mengerumuni bukit yang semakin terdesak.

    Sebagai pemilik lahan terluas di bagian paling atas, yang dulu dibelinya saat masih sangat murah, ia sekuat tenaga mencoba menahan pergerakan hunian ke arah atas. Sementara para pengembang menggunduli kaki bukit dan mengubahnya menjadi dataran gersang berundak-undak untuk dibuat ribuan hunian, ia terus mempertahankan beberapa hektar lahannya tetap hijau dan dipenuhi pohon besar. Dibantu para junior anggota mapala di kampusnya, perlawanan gigihnya pada penggundulan akhirnya bisa memaksa lahannya sebagai benteng terakhir laju penggundulan.

    Ia memang gigih, pantang menyerah, dan beberapa sebutan lain untuk menyamarkan hakikat kekeraskepalaannya. Gosip beredar, sikapnya yang kadang terlalu kaku itulah yang menyebabkan kesendirian menjadi predikat lain dari keberadaannya. Awalnya, beberapa teman dan saudara menanyakan soal itu, tapi kini sudah lama tak ada lagi yang peduli.

    Ia sendiri tak pernah menganggap kesendiriannya sebagai masalah, buat dirinya, apalagi orang lain. Itu adalah urusan privat yang tak harus dibaginya, begitu prinsipnya. Sekali waktu, prinsip itu dilanggarnya juga. Suatu hari cuitannya di twitter berbunyi tak biasa.

    Gunung Geulis. Gagah, setia. Tak biarkan sendirimu mewujud luka.

    Di antara sekian banyak puisi dan kata-kata penuh rima, cuitan itulah yang paling banyak dikomentari ribuan akun pengikutnya. Sebagian besar adalah para mantan pelaku patah hati di bukit itu.

    Karena posisinya yang tak terlalu tinggi, Gunung Geulis menjadi tujuan para mahasiswa yang ingin ‘setengah naik gunung’ tapi bertekad menemukan view malam yang super istimewa. Kebanyakan mereka membawa seorang istimewa, baik yang kemudian jadi tambah istimewa, maupun yang sesudah kunjungan ke bukit ini menjadi sama sekali tak istimewa.

    Ah, bilang cinta kok bisa begitu mudahnya berubah rasa? Gerutunya suatu saat, saat melihat para warga dunia maya membicarakan cuitannya. Harusnya, cinta adalah kesetiaan sepanjang masa. Tak ada yang tahu, keputusannya tinggal di kaki Gunung Geulis adalah kesetiaannya pada sebuah rasa. Rasa itu dulunya mengisi seluruh rongga dada, lantas menggumpal dan mengeras, mengkristal, dihimpit masa.

    ***


    Seperti ribuan kali perjalanannya yang lain ke pelataran ini, pagi ini pun ia akan menemui pemandangan indah kota Bandung yang terhampar di kejauhan. Hari ini bukan akhir pekan, jadi tak banyak pengunjung yang datang, hanya satu dua. Kesunyian ini begitu mengasyikkan.

    Dulu, ia juga sering menikmati night view Kota Kembang di sini. Sendirian tentu saja, selama sekian lama, sebelum akhirnya pada suatu malam sebuah janji terucapkan. Janji yang berulang lagi pada keesokan paginya. Janji yang tak pernah terlupakan, dan pagi indah itu mengunci semua harapan. Harapan-harapan yang sayangnya berakhir menjadi kepingan-kepingan, yang puluhan tahun kemudian tersusun sebagai mozaik impian yang tak pernah jadi kenyataan.

    Boleh aku berkunjung ke Gunung Geulis? Anggap saja ini permisi numpang lewat ya. Baru tahu kalau tinggal di situ.

    Selama beberapa waktu terakhir, ia memilih tak naik ke Gunung Geulis lagi. Saat pesan itu datang ─entah bagaimana caranya, tapi ia tahu si pengirim, kalau benar dugaannya, memang sangat cerdas─ yang terpikir olehnya adalah bahwa ia sudah terlalu uzur dan hampir kehilangan kemampuan membedakan kenyataan dan khayalan.

    ***


    Ia tak berniat naik ke puncak Gunung Geulis, sebab tak terlalu suka, dan bahkan lokasi itu tak pernah jadi tujuan favoritnya. Sebuah pelataran istimewalah yang jadi tujuannya, letaknya sekira sepuluh menit sebelum puncak. Puncak adalah lokasi yang paling indah menurut orang-orang. Buatnya, pelataran inilah yang jauh lebih indah dan bermakna, di bawah naungan dua pohon beringin besar yang seolah menjadi simbol kesetiaan yang tak lekang dimakan zaman.

    Napasnya tak sekuat dulu. Peluh membanjiri kausnya, dan beberapa kali ia menyeka keningnya. Tepat di pelataran yang selalu bersih dan rapi itu─karena ia selalu rajin membersihkannya, ia berhenti dan tertegun.

    Seorang pemuda yang wajahnya tak asing dan sering dilihatnya, sedang duduk dengan gelisah. Kegelisahan itu begitu jelas terpancar dari raut mukanya selama beberapa saat, sampai akhirnya sesosok perempuan muda berkulit kuning langsat dan berambut panjang hadir di sebelahnya sambil memamerkan senyuman. Wajah pemuda itu berseri-seri saat menggenggam tangan si gadis yang mendatanginya.

    Sedari tadi, ia duduk tak jauh dari sepasang kekasih itu, yang binar-binar di bola mata keduanya memancarkan isyarat dan rasa yang sama. Suara perbincangan mereka terdengar jelas, dan mereka tak menghiraukan keberadaannya.

    “Kok kamu yakin kalau aku bakal sampai di sini?” ucap si gadis, suaranya renyah dan manja.

    “Bagaimana tak yakin, selalu ada sukarelawan yang mau mengantarmu ke mana saja,” jawab laki-laki di sampingnya.

    “Ah, tapi kan mereka aku tinggalin di puncak sana. Aku lebih milih ke sini. Kebersamaan kita sudah ditetapkan, tok tok tok, sudah diputuskan semesta, tak bisa diganggu gugat! Hihihi.”

    Seriously?”

    “Ya dong, apapun yang terjadi! Keputusannya sudah inkrah.”

    “Ah, gombal ….”

    Keduanya tertawa, saling menggenggam tangan, dan beranjak pergi. Sebelum menghilang di balik pohon beringin besar, keduanya tersenyum ke arahnya dan mengangguk, mengirim isyarat berpamitan. Ia menghela napas panjang usai menyaksikan kedua sejoli yang penuh kebahagiaan itu berlalu. Tiba-tiba, ia merasakan beban berat yang selama ini sering menghimpitnya menghilang. Beban itu yang terus menyiksanya, sekaligus memberinya alasan untuk tetap hidup dan bertahan.

    Tak banyak yang bisa kukatakan. Maafkan. Harus kujalani semua ini dengan segala kesedihan dan keterpaksaan.

    Tak pernah ada cukup penjelasan atas pesan yang diterimanya itu. Ia pernah mencoba jawaban, mencoba lagi, dan terus mencoba, sampai akhirnya memutuskan untuk membuat sendiri sebuah ‘kira-kira semacam jawaban’.

    Kini, ia menatap ke arah kejauhan. Hamparan Kota Bandung sudah banyak berubah, semakin riuh dan sesak dengan jutaan harapan. Tak semua menjadi kenyataan, dan setiap kekecewaan dapat menjadi himpitan kesengsaraan. Namun, pagi ini ia merasa begitu lapang, begitu merelakan.

    “Kok kamu yakin kalau aku bakal sampai di sini?” pertanyaan itu terdengar begitu dekat di telinganya.

    “Sudah ditetapkan, sudah diputuskan ….”

    “Semesta?” suara itu tercekat, nyaris tak terdengar.

    “Ya ..., semesta.”

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi