Semua berawal dari sebuah sapaan pendek, di suatu hari yang sejuk, Oktober tahun lalu. Sergiy belum lupa, saat itu malam sudah menjelang. Ia sedang menyelesaikan beberapa laporan yang bertumpuk karena menjelang akhir bulan. Kantor sudah sepi, stafnya sudah disuruhnya pulang terlebih dulu pada jam normal.
Perusahaan tempatnya bekerja sedang berkembang pesat, salah satu startup yang terus naik daun dengan pencapaian fantastis dan semakin diperhitungkan. Akhir-akhir ini makin banyak generasi muda di negerinya yang tampil mempesona dengan kekuatan otak dan kreativitas luar biasa di dunia maya. Sergiy begitu terkesima pada awalnya atas kehadiran mereka, sebab jenis kemampuan itu begitu hebat di depan matanya, kepintaran yang amat menjanjikan dan akan menguasai masa depan.
Hanya saja, anak-anak muda jenius itu, yang salah satu di antaranya kini dipanggilnya sebagai ‘bos’, founder perusahaannya, termasuk ke dalam tipe orang-orang eksentrik yang hanya berkutat dengan dunia mereka sendiri. Keengganan 'bos' dengan berbagai urusan lain perusahaan, membuat Sergiy direkrut beberapa tahun lalu. Tugasnya, menjaga keberlangsungan perusahaan, mencakup di antaranya mengurus sumber daya manusia, sekaligus mewakili bosnya mengawasi keuangan dengan ketat. Sergiy menghormati pemuda brilian itu, sebagaimana 'bos' menghormatinya, mereka saling tergantung dan saling butuh satu sama lain.
“Perlu kopi, bro?” seraut wajah kurang tidur dengan kacamata tebal, menyembul dari balik pintu dan menyapanya. Saat berbicara, di penyapa hanya melihat ke arah tembok dengan kikuk. Sergiy menoleh ke arah sumber suara itu, melemparkan senyum.
“Ni, dyakuyu,” jawab Sergiy diikuti isyarat tangan menyuruh laki-laki pulang duluan. Wajah itu langsung menghilang, diikuti suara daun pintu menutup lagi. Sergiy menenggelamkan diri dalam ratusan item daftar penjualan yang berbaris rapi di dalam laporan, mengecek ulang database di laptopnya, lalu membubuhkan persetujuan pada selembar kertas yang ada di bagian akhir laporan.
Seusai itu, barulah ia bisa menyandarkan punggungnya di kursi dengan penuh kelegaan. Tangannya meraih ponsel dan baru menyadari sebuah pesan masuk di akun facebook-nya.
“Pryvit, yak ty?”
“Kabar baik, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Kamu ada di mana sekarang?”
Lalu lintas kata-kata mengalir dengan lancar dan menyenangkan. Sergiy mencari segelas minuman dingin, sebelum menikmati dengan nyaman membaringkan tubuhnya di atas sofa, sambil melanjutkan chat di layar ponselnya.
Ia sudah terbiasa bermalam di kantornya, di lantai dua sebuah bangunan berkonsep minimalis moderen di bagian utara Kyiv yang tenang. Sebuah lokasi yang bebas dari hingar bingar, tapi infrastrukturnya terbilang kuat untuk mendukung kebutuhan, dan masih berada di wilayah pusat industri kreatif yang prestisius. Keseluruhan kantor itu sudah didesain sedemikian rupa, fungsional tetapi terasa sangat homey. Namun, di penghujung sore itu, hingga malam makin merayap, Sergiy merasa waktu berlalu terlalu cepat.
“Semoga sehat-sehat semua, ya.”
“Ini siapa?”
“Entahlah, hanya seseorang yang lewat dan berkirim doa. Probach meni.”
“He he he.”
Sejujurnya, Sergiy sempat tak percaya melihat nama itu muncul di kotak pesannya. Namun, perbincangan segera mengalir begitu saja. Yevstye, perempuan dari dunia mimpi, mengirimi Sergiy serangkaian sapa dan tanya yang melebihi jutaan kata-kata. Ia sudah tiga tahun lamanya tak menerima kabar dari perempuan itu, dan tiba-tiba saja ia merasa begitu lepas untuk beralas kata-kata, berbeda dengan sebelumnya.
“Biasanya kamu tak berlama-lama menjawab chat-ku, Sergiy. Tak suka?”
“Jangan seperti itu, Yevstye, nanti hatiku merintih lagi.” Emotikon meneteskan air mata menghiasi ujung jawabannya.
“Ada apa dengan hati kamu? Jawabanmu jangan random, aku jadi pusing.”
Sebenarnya Sergiy begitu ingin jujur, bahwa tak ada perempuan yang begitu diimpikannya untuk dapat dijumpainya lagi, selain Yevstye. Namun, selama ini tak pernah mudah untuk mengungkapkan hal itu. Yevstye adalah lukisan indah di relung hati terdalamnya, perpaduan antara kerinduan, kesedihan, dan tanda tanya sepanjang masa.
“Aku tak boleh kontak kamu lagi, ya? Kalau memang begitu, tak apa-apa. Seperti yang sudah kubilang, aku cuma mau doakan kamu sehat bersama keluarga.”
Aku masih sendiri di sini!
Begitu inginnya Sergiy menuliskan jawaban itu, tapi tak dilakukannya. Ia merasa kalimat itu akan menjadi sebuah pengumuman yang bisa disalahartikan. Yevstye dulu meninggalkannya tanpa alasan, tapi cukup untuk membuat Sergiy bertahun-tahun kemudian menghakimi dirinya sendiri sebagai orang yang paling bersalah. Perpisahan yang menyakitkan, sayangnya, tak pernah mampu menghapus perasaannya terhadap perempuan bermata indah itu.
“Aku baik-baik saja, Yevstye. Rambutmu masih panjang?”
“Astaga, kenapa tanya soal rambut? Ni. Sekarang sudah tak musim lagi rambut panjang di Kharkiv sini. Ha ha.”
Sergiy tak bisa membayangkan sosok Yevstye tanpa rambut panjangnya. Itu sesuatu yang sangat absurd, paling tidak hingga bayangan yang sering muncul dalam lamunannya tergusur oleh sosok yang nyata, yang belum pernah dilihatnya lagi setelah sekian lama.
“Lantas, kenapa kamu off di medsos sampai berbulan-bulan?”
“Hah? Kenapa tanya itu? Kamu sering lihat-lihat akunku ya rupanya?”
“Aku kan orangnya sering penasaran, Sergiy.”
Sergiy dengan senang hati menjelaskan episode kejenuhan itu, beberapa waktu lalu ketika ia memutuskan untuk menghindari dulu kebiasaannya berbagi di sosial media, yang sudah menjadi tak begitu menyenangkan. Ia hanya sesekali saja membuka aplikasinya, membaca, memberi tanda suka, tanpa membuat status atau komentar apa-apa di facebook.
“Kamu sendiri punya cerita apa, selain mengintip akunku setiap hari?”
“Aih, siapa juga yang tiap hari? Ni! Aku kan banyak pekerjaan lain juga, mengurus rumah, mengurus rumah, dan mengurus rumah ….”
“Ah, setahuku kamu manja. Paling-paling semua urusan itu sudah ada yang mengurusi, ya kan?”
“Astaga, mana pernah aku manja sama kamu, Sergiy? Paling minta dibuatkan mie instan, kiriman temanmu dari Asia itu, dulu. Itu kan bukan manja! Oya, pernah juga beberapa kali aku minta kamu bawakan deruny yang konon paling lezat, dari dekat rumahmu. Ha ha.”
Sergiy tak berkeberatan mengiyakan protes itu, biarpun ia tahu betul kebohongan itu. Ia tahu persis betapa manja Yevstye padanya.
“Kamu belum pulang, Sergiy? Sudah malam. Nanti ada yang khawatir!”
Aku masih sendiri. Tak ada yang mengkhawatirkanku!
“Sebentar lagi aku pulang, Yevstye, tapi aku masih asyik memandangi foto profil dulu.”
“Buat apa sih memandangi foto profil sendiri?”
Sergiy tertawa. Ah, Yevstye … aku selalu rindu gaya bercandamu yang jahil dan cerdas di saat yang bersamaan. Kamu punya banyak hal istimewa, yang tak pernah bisa kulupakan. Tak akan pernah.
“Iya juga, ya. Ah, sudahlah, aku berhenti memelototi foto ini,” jawabnya, diikuti emotikon tertawa dengan gigi berbaris rapi.
Jeda sejenak.
“Cantik mana dibandingkan dulu?”
Ahaaa, pertanyaan yang akhirnya muncul juga!
“Cantik sekarang, menurut versi chat ini, Yevstye.”
“Oh, begitu ya. Oke lah, kalau tak mau jawab jujur. Tak perlu susah-susah merangkai kata.”
Sergiy mengaku tak berdaya. Saat dibacanya kalimat-kalimat pendek itu, bayangan Yevstye semakin nyata dalam benaknya. Semua deskripsi itu, yang ia kenal dari mulai gaya menulisnya, pemilihan kata-katanya, jahilnya, tawa dan raut mukanya, gaya berpakaiannya, semuanya. Termasuk, gaya merajuknya. Semua bayangan yang sempat memudar, semata-mata karena melewati ribuan senja, tiba-tiba saja dengan ajaib kembali tergambar nyata dalam sekejap saja.
“Sudah mau pulang? Hati-hati ya di jalan. Kamu pasti lelah, Sergiy.”
Sergiy menghela napas panjang. Dulu, kalimat seperti itu biasanya diucapkan Yevstye sambil memegang tangannya, tak mau melepasnya, melarang kepulangannya. Kadang, jemari lembut perempuan itu sambil mengelus pipinya, atau menyandarkan kepalanya dalam pelukannya. Hatinya berdesir.
“Lumayan capek, tapi membaca chat-mu aku jadi segar lagi.”
“Aku ini semacam minuman berenergi, begitu, ya, Sergiy?”
“Maksudmu, air rebusan baterai, Yevstye?”
Sergiy merapikan laporannya, meluruskan posisi benda-benda kecil pada tingkat presisi terbaik, memasukkan isi tas, dan mematikan lampu meja kerjanya. Ia menghela napas panjang, sebelum tiba-tiba mengambil keputusan bodoh yang sudah tertunda begitu lama. Keputusan whatever will be will be yang disengajanya, sebab menjadi pintar dan penuh perhitungan ternyata tak pernah memberikan jawaban yang dicari-carinya.
“Ya vse shche lyublyu tebe. Aku masih sayang kamu, Yevstye. Maafkan aku sampaikan ini. Aku kaget kamu tiba-tiba menyapaku, tapi juga tidak kaget di saat yang sama. Selalu ada bisikan di dalam hatiku, bahwa ‘kebetulan’ ini memang bakal ada. Keyakinan yang selalu tersimpan, biarpun naik turun, kadang sampai di titik terendahnya. Buatku, ini adalah semesta yang berbicara.”
Tak ada jawaban selama beberapa saat. Sergiy mulai berpikir, kalimatnya tadi berlebihan, melewati batas kepatutan yang ia sendiri tak tahu di mana batasnya. Hanya saja, ia merasa batas itu selama ini selalu ada.
“Sergiy, aku mau bilang kalau kamu sudah tak boleh sayang aku lagi, tapi itu berarti aku tak jujur.”
Aku tahu. Kamu sekarang tak sendiri, dan hidupmu amat sempurna.
Jeda. Pesan yang tertunda. Waktu yang cukup untuk Sergiy meresapi rasa bahagia, sekaligus haru, yang meluap-luap di relung hatinya. Selama beberapa saat, jeda itu memberi Sergiy kegirangan yang luar biasa, perasaan yang menciptakan berjuta-juta warna di taman hatinya. Taman yang selama bertahun-tahun ini begitu tandus dan hampa. Ia masih bertemu dengan berbagai macam manusia, tetapi kebanyakan di antaranya semakin tanpa rasa, hanya sekadar karena alasan ‘harus’ atau ‘sepatutnya’.
Sejak percakapan hangat pada layanan perepesanan itu, Sergiy menjumpai hari demi harinya berlalu seperti kelebatan-kelebatan adegan sinema, kilasan-kilasan dari satu scene ke scene lainnya. Ia tetap menjalaninya, meski sebenarnya ia menginginkan segera sampai di adegan yang ditunggu-tunggunya. Akankah penantiannya berakhir, dan ia dapat menatap mata indah itu saat mendengarkan jawaban yang dicarinya? Kenapa kamu tinggalkan aku, Yevstye?
Hari pertama, bulan Maret, tahun 2022. Sergiy menatap gumpalan-gumpalan asap hitam bombardemen yang muncul sesudah gelegar kesekian yang memekakkan gendang telinganya. Sudah berhari-hari hidupnya terjebak di garis depan, bersama kalashnikov yang jadi sandangan. Mimpi buruk melanda ke seluruh penjuru negerinya, menjadi perenggut semua rencana dan cita-cita jutaan manusia.
Berita tentang pemboman di Kharkiv memorakporandakan bagian jiwanya yang sedang melambung karena rasa rindu yang terus bergelora. Hujan rudal dan artileri yang brutal selama belasan jam itu telah merusakkan begitu banyak bangunan, menghancurkan landscape kota, dan membunuh banyak warga tanpa perikemanusiaan. Bagian terburuknya, taman bunga di hatinya pun hancur lebur dan berubah menjadi merah membara.
Sergiy tak pernah menerima pesan lagi dari Yevstye, sampai suatu hari melihat sebuah postingan muncul di beranda akun facebook perempuan pujaannya itu, ditautkan oleh salah satu kontak dekatnya. Puluhan komentar turut berduka cita dalam sekejap membanjiri postingan itu. Foto-foto kondisi apartemen yang ditinggali oleh Yevstye dan puluhan warga lainnya tampak luluh lantak oleh hantaman bom Rusia. Tak ada yang selamat di lokasi tersebut.
Sergiy tak percaya lagi bahwa ia masih punya alasan untuk berbicara tentang harapan. Ia sering tersenyum dan menangis tertahan, di saat yang bersamaan. Hiburannya hanyalah mengulang-ulang membaca pesan terakhir Yevstye untuknya, pada percakapan terakhir mereka.
“Percayalah, aku sering kangen ngobrol sama kamu. Awal Maret, aku ada rencana pergi ke Kyiv. Mau kan kamu bertemu aku? Kita ngobrol lagi, sesudah bertahun-tahun ini kita benar-benar tak pernah jumpa. Kita saling bercerita lagi sambil menikmati deruny seperti dulu, sambil minum kysil kesukaanmu. Yak shchodo ts'oho, Sergiy?”
No comments:
Post a Comment