"Aku bangga melihat mereka mau memperjuangkan suara kita, orang-orang kecil, masyarakat kebanyakan, yang sekarang ini menjerit karena harga-harga barang kebutuhan pokok menggila," cetus Saiman, saat kerumunan mahasiswa yang baru selesai berdemo terlihat mulai mencair dan berpencar pulang.
Hari sudah sore, semburat merah di ufuk barat mengantar anak-anak muda berjas almamater dengan warna berbeda-beda itu kembali ke kampus masing-masing. Beberapa tampak kelelahan, setelah hampir seharian ada di jalanan dan melakukan long march sambil meneriakkan yel-yel perjuangan. Meski lelah, api semangat tampak masih menyala-nyala di mata mereka. Tak henti-hentinya mereka membicarakan serunya aksi hari ini yang sempat menimbulkan sedikit gesekan dengan aparat keamanan.
"Iya, Mas. Mereka itu pemberani, kendel, mau-maunya demo gitu, ya? Padahal, bisa jadi mereka berasal dari keluarga mampu, ndak kekurangan, ngapain pake turun ke jalan segala?" Warti, yang sejak tadi ikut memperhatikan jalanan, menimpali ucapan Saiman. Sambil duduk, ia meneguk minumannya.
Pemandangan bubarnya aksi demonstrasi mahasiswa sore itu menjadi hiburan tersendiri bagi Saiman dan Warti. Keduanya bahkan memilih duduk dulu menonton lalu lalang para mahasiswa yang kembali pulang, dan meninggalkan jalanan di hadapan mereka yang kini mulai lengang. Arus lalu lintas belum sepenuhnya dipulihkan, ada barikade di ujung jalan yang tadi dipakai polisi untuk merekayasa lalu lintas kendaraan.
"Suara mereka masih murni, belum teracuni nafsu jahat dan kemunafikan. Mereka masih mau mendengar, mau melihat. Coba kalau mereka sudah punya jabatan, hmmm ... lain cerita!" Saiman mengungkapkan rasa bangga dan prihatin di saat bersamaan, dalam nada suara yang canggung dan terdengar menggantung.
"Ya ndak bisa pukul rata toh, masih ada orang-orang baik, jangan putus asa, Mas," hibur Warti.
Keduanya terdiam sejenak.
"Moga-moga anak kita bisa seperti para mahasiswa itu suatu saat nanti, ilmunya tinggi tapi hati nuraninya nggak mati," Saiman mengumandangkan doa tulus yang terdengar seperti separuh isak yang tertahan. Warti diam-diam mengaminkan sambil tertunduk.
"Paaak, Buuu!" teriakan seorang anak terdengar melengking di kejauhan.
Indra, anak mereka, dinamai seperti nama tokoh wayang. Saiman bilang, ia ingin anaknya suatu saat jadi pemimpin, tapi juga punya kemampuan merasakan nasib rakyat kecil. Pada tubuh kecil dan kurus yang berbalut baju kumal itu, doa-doa Saiman dan Warti tertumpah setiap malam.
Anak itu makin mendekat, wajahnya sumringah, dengan mata berkilat-kilat, sambil menggusur satu karung besar botol mineral bekas, sisa buangan para demonstran yang dikumpulkannya. Warti membantu memindahkan bawaannya ke dalam gerobak, sementara bocah itu segera mereguk minuman sisa ibunya.
"Pak," katanya bersemangat, sambil menoleh ke arah Saiman, "kalau sering demo begini, kita bisa terus ngumpulin botol banyak-banyak, Pak. Bisa cepat kaya!"
No comments:
Post a Comment