• Cek Yuk!

    18 September 2022

    Damar dan Laptop Tuanya


    Sudah beberapa bulan lamanya Damar tak menulis cerita. Bukan karena tak punya ide atau bahan tulisan, dan bukan juga karena malas. Sebaliknya, ia sebenarnya sedang bersemangat, sangat bersemangat. Baginya kegiatan menulis adalah pembebasan, dan ia sudah mendambakan kemerdekaan sejak lama. Pada saat tekanan kehidupan semakin berat, gairahnya untuk menulis juga semakin kuat.

    Masalahnya, laptop kesayangannya tak bisa digunakan lagi. Kerusakan bermula dari salah satu tuts keyboard yang tak bisa menghasilkan huruf, lalu merembet menjadi beberapa tuts. Setelah itu, gambar di layar LCD-nya sesekali, lalu sering, menghilang. Akhirnya, laptop tua itu rusak sama sekali. Damar awalnya menyangka laptop itu terkena virus, tetapi setelah diperiksa Jojo, temannya yang teknisi komputer, ternyata memang sudah waktunya dimuseumkan, dan banyak komponen di dalamnya sudah kadaluarsa.

    “Salahmu juga, laptop dipakai begadang terus-terusan, tak ingat waktu,” ucap pakdenya ketus, dengan muka masam dan mata kemerahan. Pasti minum lagi, gerutu Damar dalam hati. Ia memang tak berharap orang tua itu berempati.

    Damar memegang kening, merasa pening. Ia tersiksa karena tak bisa lagi mencurahkan imajinasi, seperti yang biasa dikerjakannya saat sudah santai di dalam kamar, setiap kira-kira menjelang pukul sebelas malam, seusai membantu pakdenya menutup warung.

    Pakde Jum mengelola warung kecil peninggalan ibunya Damar. Letaknya di pojok terminal, kira-kira lima menit saja jalan kaki dari rumah. Warung itu menyediakan mie rebus, gorengan, kopi, teh manis, air mineral, snack, tisu, dan lainnya. Konsumennya mulai dari sopir, kuli angkut, pedagang pasar, hingga para pegawai toko, calo, dan preman. Hasil usaha itulah yang menjadi sumber penghidupan Pakde Jum pada awalnya. Akhir-akhir ini, bukan hanya itu saja. Damar tahu, diam-diam orang tua itu menjual minuman keras, dan kerap ikut mencicipinya dengan alasan untuk kesehatan.

    Sebenarnya Damar sendiri tak tahu persis bagaimana kaitan kekeluargaan antara ibunya dengan lelaki berusia lebih dari separuh abad itu. Konon, ibunya dan Pakde Jum berasal dari desa yang sama, desa yang Damar tak pernah lihat seuJum hidupnya. Ibunya tak punya siapa-siapa lagi di desa itu, dan Damar tak pernah dibawa ke sana.

    Sejak kecil, Damar sudah ditinggal wafat oleh ayahnya karena kecelakaan di tempat kerja. Ibunya, sosok perempuan yang mandiri dan pekerja keras, membuka warung untuk bertahan hidup, setelah suaminya tiada. Saat Pakde Jum suatu hari datang dari kampungnya, ibunya menerima laki-laki itu bekerja membantunya. Seingat Damar, dulu Pakde Jum setiap malam tidur di warung, sementara ibunya pulang ke rumah.

    Suatu malam, saat ibunya dalam perjalanan pulang, seorang preman menghadangnya dan meminta paksa uang yang dibawanya. Ibunya melawan, tapi tak sanggup menghadapi sang bajingan. Kuatir korbannya berteriak, sang preman kalap dan menghunjamkan satu tusukan mematikan. Kepergian ibunya yang sedemikian tragis, meninggalkan Damar dalam trauma dan kepedihan yang sangat dalam. Sejak itu, sebagai anak yatim piatu ia hidup bersama Pakde Jum, dengan persetujuan Pak RT dan lingkungan sekitar yang melihat orang tua itu sebagai satu-satunya yang dapat menjadi wali Damar.

    Seminggu sesudah kematian ibunya, suatu malam Pakde Jum bilang padanya, “Aku sepertinya tahu siapa yang melakukan kekejaman itu pada ibumu.” Kemudian, selama dua hari Pakde Jum menghilang dari rumah, dan pada suatu sore kembali lagi dengan wajah tampak sedikit memar. Damar tak tahu apa yang terjadi, tapi tak lama kemudian terdengar desas-desus menghilangnya salah satu preman terminal.

    Semakin ke sini Damar sadar bahwa keputusan orang tua itu mengangkatnya menjadi anak bukanlah karena besarnya rasa kasih sayang. Sesudah berhasil meyakinkan lingkungan sekitar bahwa dia layak menjadi bapak angkat, Pakde Jum pindah ke rumah warisan ibunya Damar. Orang itu butuh tempat dan tenaga kerja gratis, itulah kesimpulan Damar sekarang.

    Setiap menjelang tengah malam, barulah Damar bisa sedikit bersantai. Itu pun hanya sebentar saja, sebab pukul setengah empat pagi ia harus kembali bersiap belanja ke pasar untuk persiapan buka warung di pagi hari. Di tengah ritme kehidupan yang begitu ketat dan monoton, menulis cerita menawarkan dunia lain yang begitu menyenangkan bagi Damar.

    Namun kini hari-hari Damar dipenuhi kegalauan. Tak ada yang dapat menggantikan keasyikan mencurahkan pikiran dan perasaan melalui tulisan, yang terhenti gara-gara laptopnya tutup usia. Ia sempat mencoba menulis lagi di warnet terdekat, tapi tak sanggup melanjutkan sebab terlalu mahal dan ia lebih suka kesendirian.

    Selain itu, Pakde Jum memarahinya. “Buang-buang duit saja!” katanya sambil setengah sadar. Kebiasaan mabuk orang tua itu makin bertambah, membuat pelanggan warungnya perlahan-lahan makin berkurang. Damar sudah berkali-kali mengingatkan, tapi Pakde Jum malah semakin kasar dan tak berperasaan.

    “Bro, ada laptop bekas, mau?” Jojo tiba-tiba saja membawa kabar baik. Damar merasa menerima pesan dari langit. Ia tak sanggup membeli laptop baru, sehingga tawaran dari Jojo adalah keajaiban.

    “Bawa sini, Jo!”

    Laptop putih yang sudah agak pudar warnanya itu masih bagus kondisinya. Mereknya pun bukan abal-abal, dan terkenal handal. Jojo menerimanya dalam keadaan mati total, tapi dia punya suku cadangnya, bongkaran dari barang sejenis. Sebagai teknisi, Jojo sering menjalankan aksi mutilasi, mengambil bagian-bagian yang masih berharga dari barang-barang rusak yang dibuang pemiliknya. Komponen yang disimpannya, sesekali menjadi harta karun untuk perbaikan laptop lawas.

    Singkat kata, “Nggak sempurna, bro, tapi yang penting bisa dipakai. Ini tadinya ada di tempat sampah, buangan dari rumah pojok di komplek seberang yang rumahnya gede-gede itu lho. Yang punya rumah tinggal sendirian dan sudah meninggal. Nah, pemulung yang mungut ini datang ke tempatku, dia pikir laptopnya berharga. Aku bilang, ini sudah nggak nyala. Aku mau beli tapi cuma 50 ribu saja. Eh, girang banget dia!”

    “Hah, serius? Padahal ini merek top ya?”

    “Ya, betul. Kamu pakai saja, Mar, tapi jangan lupa bantu kalau aku ada orderan web, atau ada yang mau dibuatkan desain grafis lagi, ok?” jawab Jojo santai, sambil membetulkan kacamata tebalnya. Damar berkali-kali mengulang ucapan terima kasihnya.

    Damar lupa kapan terakhir kali merasakan kegembiraan seperti itu. Mungkin pada saat dinyatakan naik ke kelas 2 SMP. Ketika itu, ia hampir putus asa sebab nilainya jelek-jelek akibat tak pernah belajar. Ia yang baru saja kehilangan ibunya dan merasakan beratnya trauma serta penderitaan, sering bolos sekolah dan memilih nongkrong. Waktunya banyak dibuang di jalanan dan ia mulai kenal rokok dan minuman keras, gara-gara bergaul dengan preman terminal.

    “Kamu kalau mau begitu terus, terserah. Tapi kalau sampai kamu nggak lanjut sekolah, nggak usah pulang lagi ke rumah!” ucap Pakde Jum saat itu,

    Damar tak tahu apakah ucapan Pakde Jum benar-benar tulus atau suruhan halus untuk pergi sekalian. Ia tersentak. Rumah itu warisan ibunya, bagaimana mungkin dia tak boleh pulang?

    Ia lalu pulang dan bersekolah lagi, berusaha mengejar nilai-nilai yang tertinggal. Meski nilainya pas-pasan akhirnya ia bisa naik kelas, dan itu mendatangkan kelegaan luar biasa. Sebagai ungkapan terima kasihnya, ia tak pernah lagi main di luar atau nongkrong. Ia menghabiskan waktu di perpustakaan dan belajar menulis apa saja. Rupanya Damar punya bakat bertutur, mungkin didapat dari ibunya yang hampir setiap malam mendongengkan cerita apa saja untuknya saat masih kecil.

    Tanpa menulis, Damar merasa berada di dalam penjara kehidupan. Berbeda dengan kebanyakan pemuda seusianya yang sedang kuliah atau memilih kerja di luar, Damar tak bisa beranjak. Kuliah tak ada biaya, sedangkan kerja di luar dan meninggalkan rumah bakal jadi sebuah kesalahan. Rumah itu, usaha warung itu, semuanya miliknya, peninggalan ibunya. Di sisi lain, mengusir Pakde Jum yang kini mulai sakit-sakitan juga tak bisa dilakukannya, dan bakal dinilai sebagai kejahatan seorang anak yang tak tahu berterima kasih. Semua dilema itu bisa dilupakannya saat mencurahkan perasaan dalam tulisan.

    Saat malam semakin larut, ketika Damar asyik mengetik, kerap kali dia mendengar suara pakdenya mengeluh karena merasakan sakit. Orang tua itu terserang rematik, dan sering terbatuk-batuk akibat kebiasaannya mengisap rokok. Seperti saat ini, ketika Damar hendak masuk ke beberapa paragraf terakhir untuk menamatkan ceritanya. Sebuah cerita tentang pertemuan dua kekasih yang telah terpisah sekian lama, dengan bumbu-bumbu kejadian dan konflik yang bakal diakhirinya secara romantis pada ujungnya. Tiba-tiba saja suara erangan terdengar dari kamar depan.

    “Aduuuh…,” suara itu jelas terdengar, sebab suasana dini hari sudah amat sepi. Damar hapal betul kebiasaan pakdenya, dan segera meninggalkan laptopnya. Laki-laki tua sering terbangun malam-malam, tidurnya tak pernah nyenyak, seolah menanggung segudang kegelisahan.

    Damar mencoba membantunya untuk bangkit, tapi orang tua itu menolak sambil memegangi pinggangnya. “Brengsek! Rematik ini bikin aku jadi sampah,” gerutunya.

    “Jangan mikir seperti itu, Pakde,” jawab Damar seperti biasa.
    “Ah, kamu lagi. Pergi sana!”

    Saat Damar kembali ke laptopnya, rasa kantuknya sudah tak tertahankan. Tak lama, ia sudah tertidur pulas di atas kasurnya. Menjelang subuh ia terbangun, dan seperti biasa memeriksa laptopnya lagi, sebelum disimpan. Hampir saja ia terpekik saat membuka tulisannya.

    “Apa-apaan ini?” Ia melotot memandangi layar. Cerita yang masih menggantung semalam, ternyata sudah selesai. Hanya saja, ujung ceritanya berubah total. Alih-alih happy ending, tokoh laki-lakinya tewas ditikam, sementara kekasihnya memilih bunuh diri.

    Mungkinkah Pakde Jum yang jahil mengubah tulisannya? Pikiran itu sangat tidak masuk akal. Orang tua itu menekan enter saja mungkin tak tahu gunanya untuk apa. Damar termenung cukup lama, sampai tampilan layar di depannya mati karena laptop tak juga menerima ketukan. Saat itulah tiba-tiba Damar menyadari, ada seraut wajah sedang tersenyum di balik hitamnya layar LCD. Raut muka pucat seorang perempuan muda, yang samar-samar menatap kepadanya. Damar terlonjak dan hampir terjatuh dari kursinya. Saat ia menoleh lagi ke arah layar, bayangan itu sudah lenyap.

    Meski sering dibuat merinding, Damar tak berhenti mengetik cerita-cerita baru. Ia menganggap soal bayangan itu hanya ilusi. Saat sebuah media online menerima naskahnya dan kemudian diterbitkan tiga hari kemudian, tak disangka-sangka sambutan para pembaca begitu mengagetkan. Cerpen itu ramai dibagikan ulang, dengan pujian atas romantisme meskipun ceritanya berujung tragedi.

    Damar sempat penasaran dan pada suatu malam mencoba menghentikan sebuah cerita dan sengaja membiarkannya belum selesai. Keesokan harinya, ternyata tak terjadi apa-apa. Ceritanya tetap belum selesai. Hanya saja, malam harinya ia tak bisa menemukan cerita itu lagi, lenyap begitu saja dari laptopnya. Damar mengutuk diri sendiri, mengapa sampai lupa menyimpan file-nya, sesuatu rasanya tak pernah dia lakukan. Namun sesudah dua tiga kali kehilangan cerita, ia lalu mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang aneh dengan laptopnya.

    Menolak mempercayai tahayul, Damar memeras otak untuk membuat cerita lain pada malam berikutnya, dengan kesungguhan layaknya sedang mengikuti sebuah lomba. Namun, tiba-tiba erangan keras Pakde Jum membuyarkan konsentrasinya. Damar meninggalkan tulisannya, menemani orang tua itu, memijitinya dan membalurinya dengan minyak tawon, sampai orang tua itu tertidur lagi setengah jam kemudian. Damar lalu kembali ke depan laptopnya.

    “Astaga, apa ini?” Damar hampir terpekik. Ceritanya sudah selesai, dengan ending yang romantis tapi tetap memakan korban. Salah satu tokohnya meninggal hanyut di sungai. Cerita itu tayang di sebuah media online besar, tiga hari kemudian.

    Sejak itu, Damar tak lagi pergi ke pasar atau ke warung. Usaha peninggalan ibunya itu akhirnya berhenti total, tutup, dan dengan secepat kilat dibongkar oleh Satpol PP sebagai bangunan liar. Damar tak peduli lagi soal itu, ia sibuk dengan dunianya sendiri.

    Cerita demi cerita aneh bermunculan dari penulis muda Damar Pamungkas. Tak ada yang tahu siapa dia sebelumnya, tapi tiba-tiba nama penulis muda produktif ini melambung dengan meraih juara pada berbagai lomba menulis dari tingkat lokal hingga nasional. Gaya tutur dan pemilihan alur ceritanya tak biasa, dan plot twist-nya selalu membuat pembaca terkejut sekaligus lega. Banyak yang terkesan pada gaya bertuturnya dan beberapa kritikus mulai memberi perhatian pada karyanya.

    Tak lama kemudian novel perdana Damar juga diterbitkan, dan langsung diserbu oleh para penyuka tulisannya. Novel itu memberinya pemasukan yang fantastis, hingga ia bisa membeli motor dan menyuruh orang untuk merenovasi rumah kecilnya.

    Saat tetangganya menanyakan ke mana Pakde Jum, dengan santai Damar selalu menjawab “tak tahu” atau “mungkin pulang kampung”, begitu saja tanpa beban. Pakde Jum memang lenyap begitu saja di hadapan semua orang. Tentu saja tak ada yang tahu bahwa Damar sesekali melihat wajah orang tua itu, tampak pucat dan ketakutan, di balik layar laptopnya.

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi