Waktu bergulir begitu lambat, hingga Putri merasakan perputaran jarum jam seakan sudah tak normal lagi. Berkali-kali ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, tapi yang ditunggu tak muncul juga. Awalnya, tiga puluh menit pertama masih dinikmatinya dengan mengobrol dan bercanda dengan Susi, sahabatnya, sambil menikmati camilan yang sengaja dibelinya tadi di minimarket. Sekarang, sesudah lewat tiga perempat jam penanSusin ini, kekesalan mulai menghanguskan pengharapannya.
Sore ini taman perpustakaan kota masih ramai pengunjung, dan sejak tadi orang berlalu-lalang datang dan pergi. Meski cuaca seharian cukup terik, di bawah lindungan pohon-pohon rindang, udara di taman ini terasa sejuk. Hampir semua tempat duduk terisi pengunjung, beberapa di antaranya asyik berbincang-bincang, atau memainkan ponsel, dan sebagian lainnya tampak membuka laptop, mungkin menekuni tugas sambil menikmati wifi gratis di taman ini.
“Sudah mau jam setengah empat, Put,” kalimat itu akhirnya tercetus juga. Susi menatap Putri penuh keprihatinan. Sudah empat kali ia menemani sahabatnya menunggu orang yang sama, dan selalu ada saja masalahnya. Dua kali orang yang ditunggu datang terlambat, sekali bahkan tak datang, dan kali ini sudah sangat, sangat terlambat.
Putri hanya diam sambil terus menggeser-geser layar ponselnya, mengabaikan ucapan Susi. Namun, layar ponsel sedari tadi terus-terusan menunjukkan hal yang sama: BBM naik hari ini. Kabar buruk itu ada di semua linimasa, bahkan di medsos pun semua membicarakannya.
Ia membuang napas, kesal. Teringat pula pada ayah ibunya. Sehari-hari, ia sudah cukup berhemat, sebab paham betul orang tuanya bukan orang kaya raya. Bekal bulanan Putri terbatas—meski bukan termasuk kekurangan, dan orang tuanya harus membagi perhaSusin pada adiknya yang masih bersekolah juga. Kenaikan harga BBM ini pasti bakal memukul kemampuan ekonomi banyak keluarga. Tak terkecuali, keluarga ayah ibunya.
Tadinya ia berharap banyak pada pertemuan ini. Orang yang ditunggunya sangat pandai mengusir rasa jenuh, sedih, dan bosan. Tak harus dengan kata-kata atau banyak bicara seperti di parlemen sana, asalkan hadir dan memberi senyuman saja Putri selalu merasa harinya menjadi indah dan menyenangkan. Perasaan senang itu membuatnya selalu ingin dan ingin lagi jumpa. Sayangnya, perjumpaan bukan hal yang mudah. Sulit sekali mengharap laki-laki itu bakal sering menemuinya, meskipun kampusnya dekat saja.
Kini, kehampaan mulai menyergap perasaannya. Tiba-tiba ia merasa penanSusinnya bakal berakhir dengan kekecewaan lagi. Ada apa lagi sih? Gerutuannya selalu tersumbat seperti biasa, tak pernah tercetus, meski rasa sedih makin menggumpal di dalam hati. Rapat BEM lagi? Meeting di basecamp? Jangan-jangan … lagi jalan sama yang lain? Bayangan sosok kakak senior yang dikagumi para mahasiswi di kampusnya itu tiba-tiba berkelebat.
Susi merapatkan duduknya, menempelkan bahunya dengan bahu Putri yang tertunduk lesu. “Aku tahu kamu suka banget sama Sam, tapi kalau seperti ini terus…, aku kuatir kamu bakal kecewa nantinya,” katanya sambil merangkulkan tangan, lalu mengelus-elus rambut Putri yang hitam pekat dan panjang terurai.
Sejak duduk di taman tadi, sudah dua kali Putri mengirim pesan singkat pada Sam. Lelaki itu belum juga menjawab sampai kini, bahkan terlihat bahwa pesan-pesan itu belum dibaca. Sering kali, inilah yang terjadi. Komunikasi tak berjalan dengan lancar, pesan-pesan tak terjawab, atau dibalas lama kemudian. Bukan sekali dua pula Putri akhirnya merasa tak cukup berharga untuk diberi perhaSusin. Aku tahu kamu sibuk, Sam, tapi tak bisakah kamu sempatkan? Pertanyaan Putri itu, seperti pertanyaan-pertanyaan lainnya, juga tak pernah tersampaikan.
Berbeda dengan Susi yang lebih lincah, periang, dan sering bicara ceplas-ceplos apa adanya, Putri memang pendiam, lebih banyak mendengar, dan tertutup pada siapapun. Banyak teman kampusnya bilang, Putri layak jadi pemenang ajang pemilihan putri kampus, sebab begitu manis dan menyenangkan, tapi sifat pendiamnya membuat banyak teman laki-laki segan, selain ada beberapa juga yang merasa tambah penasaran.
“Si Oren ke mana ya?” ucap Putri tiba-tiba.
Susi cuma bisa geleng-geleng kepala, tersenyum kecut, sambil mendorong bahu Putri. Ia sudah hapal betul kebiasaan sahabatnya, selalu mengalihkan pembicaraan secara random ke topik lain. Alih-alih ikut mencari, seperti Putri yang menengok lagi ke kanan-kiri, Susi memilih meraih gelas plastik berisi thai tea boba kesukaannya. Seruput, seruput, dan seruput lagi, sampai terdengar sedotannya mengeluarkan bunyi keras, dan membuat Putri cepat-cepat balas mendorong bahunya. “Malu, tahu!” ucap Putri sambil melotot.
“Tuh, Si Oren!” Susi menggerakkan dagunya ke arah kanan depan, menunjukkan seekor kucing yang sedang tertidur pulas di pojok taman.
Si Oren adalah kambing hitam—berwujud kucing berwarna oranye—yang menjadi pangkal dari semua kemalangan Putri. Suatu hari, tiga bulan ke belakang, saat dia sedang duduk mengerjakan tugas Statistika di taman ini, dan sambil menunggu kehadiran Susi yang janji datang menyusul sebab harus menemui dosen walinya dulu, tiba-tiba saja seorang pemuda duduk manis begitu saja di hadapannya, hanya terhalang oleh meja bundar di depannya.
Asalnya Putri berpikir pemuda itu bakal duduk sebentar saja, lalu memilih tempat lain, tapi ternyata sesudah 5 menit lamanya wajah tirus bertubuh kurus itu masih juga ada di depannya. Pemuda berambut gondrong dengan jaket jeans belel berwarna krem itu malah menyangga dagunya dengan telapak tangan kanan. Putri merasa pemuda di depannya itu dengan tak bersuara juga berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.
“Kok biiisaaa sih? Sampai asyik banget di sini,” gumam pemuda itu, cukup keras terdengar dan membuat Putri langsung berhenti mengetik, lalu memandang ke sumber suara. Meski selalu berusaha untuk ramah pada seSusip orang, Putri malas untuk berkomunikasi dengan laki-laki yang belum dikenal.
“Di sini enak buat ngerjain tugas, kak,” Putri hanya menjawab sekenanya saja.
Tak ada jawaban. Pemuda itu, belakangan sesudah berkenalan ternyata bernama Sam, mahasiswa Teknik Informatika, malah sibuk mencari-cari sesuatu. Sebuah kemasan kecil dikeluarkan dari dalam tasnya. Jarang-jarang mahasiswa kok suka ngemil, pikir Putri saat itu. Sebuah pemikiran yang lantas selalu disesalinya, sebab tak lama kemudian ia mendengar suara bergemeletuk yang berasal dari balik layar laptopnya.
Astaga, ternyata seekor kucing dari tadi berada di balik laptop dan tasnya, dan kini sedang lahap menikmati makanan yang dibawakan si pemuda. Saat itu, Putri merasa mukanya menghangat dan tak mampu bersuara. Ia sama sekali tak menyadari kehadiran Si Oren.
“Selamat mengerjakan tugas, ya. Aku Sam, kampus kita berseberangan. Kamu Putri, kan? Kamu putri kampus tahun ini, aku datang waktu kamu terpilih, banyak kakak angkatanmu yang jadi temanku. Sampai nanti, ya.” Kata-kata Sam, sebelum dengan santainya beranjak pergi, masih terdengar jelas di telinganya hingga kini.
Entah bagaimana caranya, laki-laki itu lantas bisa menghubunginya melalui WhatsApp. Susi bersikeras mengaku tak memberitahu nomornya pada Sam. Mahasiswa yang pernah menjadi ketua hima itu lalu mulai jahil menggodanya. “Kucing aja dicuekin. Jerih aku sih,” bunyi chatnya suatu saat. Putri hanya membalas dengan emotikon ungu bertanduk, berlawanan dengan perasaan sebenarnya. Ia memilih menyembunyikan bunga-bunga yang bermekaran di taman hatinya. Ia bukan anak kecil lagi, sudah tahu tanda-tanda, dan tak butuh waktu lama tautan rasa itu semakin mendekatkan dirinya dengan Sam, yang tetap jahil sepanjang waktu.
Meski sudah beberapa kali pergi makan siang bersama, yang selalu di cafe Cats and Coffee pilihan Sam, nonton film yang selalu genre petualangan, dan beberapa kali jogging bareng di lingkungan kampus, itupun tetap dengan menyelipkan agenda memberi makan kucing liar, tapi sampai kini Putri masih menunggu kepasSusin yang tak juga diterimanya. Sam seolah mengalami kemacetan untuk mengungkapkannya.
“Hati-hati, Put, dia itu banyak fans-nya,” Susi pernah memperingatkannya begitu. Putri cuma diam, lalu menjawab pelan, “Memangnya kenapa? Kami cuma teman, kok,” diakhiri tawa yang dipaksakan.
Meski begitu, sebagai teman, Putri beberapa hari yang lalu sempat bicara pada Sam, saat sedang membahas sikap Indonesia pada Ukraina dan Rusia. Kata Putri, “Bisa jadi sikap seperti ini memang lebih nyaman, menjaga jarak aman, biarpun tanpa ketegasan. Oh, iya, tegas mempertahankan kenyamanan.” Sam tertegun, tapi tak menjawab. Sejak itu, tak ada pesan masuk dari laki-laki itu yang Putri terima di ponselnya.
Tadi pagi, akhirnya selantun pesan dari Sam masuk ke dalam ponselnya. “Put, aku mau bilang sesuatu. Nanti sore ketemuan di taman perpus yang biasa, ya?” Dadanya terasa berdebar kencang. Beberapa kali Sam seolah bersiap mengucapkan sesuatu, tapi selalu berbelok ke topik lain, membuat Putri gemas dan kesal. Kemampuan retorika Sam yang demikian berkharisma di hadapan para mahasiswa, yang sudah dilihat Putri pada berbagai acara, ternyata hilang begitu saja saat berbicara dengannya. Di dekatnya, Sam lebih sering diam, memperhatikan, dan … jahil.
“Gila ya, apa mereka nggak mikirin rakyat kecil? Masih susah kayak gini, baru bangkit dari pandemi, eh BBM naik. Gila!” Susi mengutuk-ngutuk sambil melihat layar ponselnya. Ia menunjukkan headline berita online tentang kenaikan harga BBM, Putri sudah membacanya tadi. Gerutuan Susi baru berhenti saat ia meraih botol air minumnya.
Selarik pesan masuk ke ponsel Putri, “Maaf, aku batal ke taman perpus. Ada rapat konsolidasi buat demo BBM besok,” dari Sam.
“BBM sialan!”
Putri tidak pernah mengumpat sebelumnya. Susi tersedak.
Jogja, 7 September 2022
No comments:
Post a Comment