“Papa, kenapa setiap kali mengajakku jalan-jalan harus selalu lewat sini?” Grigory merungut. Angin sore yang dingin membelai wajahnya yang segar, dengan binar bola mata yang berpendar-pendar. Siapapun akan jatuh hati melihatnya.
Oleksiy tersenyum mendengar pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Ia memegang tangan bocah tujuh tahun itu, menengok kanan-kiri, lalu menyeberangi jalan sesudah yakin aman. Meskipun rute favoritnya ini bukan kawasan padat kendaraan, ia harus selalu memastikan keselamatan perjalanannya bersama Grigory tercinta.
“Jalan ini punya kenangan istimewa,” jawabnya sesudah berada di seberang. Di depan mereka terbentang jalur pedestrian yang lurus, di tengah barisan gedung tua yang tetap kokoh dan memukau. Beberapa turis tampak sedang terpesona oleh keindahan lanskap, seperti Oleksiy yang juga selalu merasakan hal yang sama.
“Tapi aku ingin lewat sana,” bocah itu bergumam sambil menunjuk ke arah selatan. Gedung-gedung dengan gaya arsitektur lebih modern menjulang di sana.
“Ah, tentu saja boleh, kita juga pernah jalan-jalan lewat sana, ‘kan? Hanya saja, ini jalur kesukaan Papa. Gedung-gedung di sini memang sudah tua, tapi kita bisa menikmati keindahan dan ketenangan, sambil belajar menghormati sejarah,” suara Oleksiy lembut dan menenteramkan, di balik tubuhnya yang tinggi besar. Grigory terhanyut dan segera menempelkan kepalanya sambil memeluk lengan ayahnya. Keduanya berjalan perlahan di atas susunan batu trotoar yang rapi dan bersih.
“Aku suka pelajaran sejarah!” teriak Grigory. Wajahnya sudah ceria lagi, sedemikian cepatnya. Sifat periang bocah itu yang dirasa Oleksiy telah memperpanjang hidupnya selama beberapa tahun terakhir.
“Bagus! Dari peristiwa masa lalu kita bisa belajar tentang banyak hal, Grigory.”
“Belajar banyak hal? Apa itu?”
Banyak hal sudah berlalu, tapi sebenarnya tak pernah benar-benar usai. Kenangan di jalan ini terpatri kuat dalam benak Oleksiy, tak tergerus waktu, bahkan menjadi rekaman video yang diputar berulang-ulang di dalam pikirannya. Sesekali, atau sering, kilasan masa lalu itu terbawa juga ke alam mimpinya.
Keindahan senja menghadirkan perasaan rindu dan haru yang merasuk jiwa. Gedung-gedung tua semakin anggun dan mempesona, saat lampu-lampu sorot dinyalakan pada sudut-sudutnya. Beberapa kali Grigory menunjuk ke arah detail ornamen yang tampak berbeda. Ternyata, meski hasil perbaikan untuk menutupi lubang-lubang peluru cukup rapi dan teliti, mata sang bocah sangat jeli menemukannya. Oleksiy hanya mengangguk-angguk, tersenyum dan mengiyakan. Ia tahu ketelitian seperti itu diwariskan dari siapa.
Oleksiy menikmati campur baur perasaannya. Jalan ini menyembunyikan banyak parut luka perang, tapi tak pernah bisa mengurangi manisnya kenangan. Buatnya, yang paling membekas adalah eratnya genggaman tangan, dan hangatnya kecupan. Tepat di depan pagar gedung putih di hadapannya, ia pernah berlama-lama menikmati pelukan itu, bertahun-tahun silam.
Ia menunggu kesempatan itu dengan sabar, sebelum harapannya menjadi kenyataan. Marichka adalah perempuan tercantik di markas, terlalu banyak penggemar yang mengincarnya, dan selalu sibuk. Tak mudah untuk mengajaknya jalan-jalan. Perempuan pemecah sandi itu sebenarnya tak pernah tampil menarik perhatian, tapi keceriaan dan kecerdasan yang memancar dari wajahnya telah membuatnya dibayangi banyak penggemar, diam-diam atau terang-terangan.
Oleksiy adalah pengagum berat nan setia, tetapi lebih banyak menyembunyikan rasa. Seringkali, ia hanya mampu memandangi saja, lalu menundukkan kepala. Marichka yang penuh perhatian, berbuat sebaliknya. Perempuan itu sering iseng menggodanya. Ia tahu ada rasa. Respon itu membuat Oleskiy mabuk kepayang dalam sikapnya yang penuh kekakuan.
Pada suatu senja yang dingin, tiba-tiba saja Marichka mengajaknya pulang bersama. Oleksiy berjalan canggung sambil memegangi sepeda dengan tangan kanannya. Ia gugup, merasakan genggaman hangat Marichka meraih tangan kirinya. Sepanjang jalan, perempuan berambut tergerai indah itu terus bicara, menjelaskan sejarah gedung-gedung yang mereka lewati, sambil sesekali menggodanya. Oleksiy mengangguk-angguk, mengiyakan saja.
Ia terpukau oleh kata-kata yang berhamburan dari bibir Marichka. Ia dan perempuan ahli sandi itu selama ini nyaris tak pernah bicara. Sore itu, Marichka mencairkan semua kebekuan, membuka perasaan yang sudah tertaut sedemikian lama tanpa kata-kata di antara mereka berdua. Oleksiy bukan hanya berpangkat lebih tinggi, tapi juga kaku dan ketat menjaga dirinya. Ia selalu hemat bicara di tempat kerja. Sementara itu, meski dikenal periang dan pintar bicara, Marichka nyaris selalu berada di ruangan rahasia. Bunga-bunga asmara yang tumbuh di antara mereka berdua, teredam sikap canggung pada setiap perjumpaan.
“Kenapa Mama meninggalkan Papa?” Grigory santai saja melontarkan pertanyaannya, sambil berjinjit-jinjit. Langkah Oleksiy terhenti, keningnya berkerut. Ia menoleh, memandangi wajah anaknya lekat-lekat.
“Kata siapa begitu?”
Grigory memamerkan gigi-giginya yang rapi dalam senyum mempesona, yang selalu mengingatkan Oleksiy pada raut muka serupa. Wajah Marichka ada di sana.
“Papa pernah mengajakku menengok kuburan kakek dan nenek, tapi tak pernah membawaku ke kuburan Mama. Papa juga tak pernah cerita kapan dan di mana meninggalnya … aku membuat kesimpulan sebagai penyuka sejarah,” celoteh wajah polos itu begitu serius dan menggemaskan.
“Haha,” Oleksiy tergelak, lalu meraih bahu anaknya, mengajak melanjutkan perjalanan yang hampir tiba di ujungnya.
Marichka adalah pusat segala energi kehidupannya. Meski perjumpaan terakhir mereka yang membara hanya sekejap saja, Oleksiy sudah menyerahkan hidupnya pada Marichka. Di sudut jalan ini, sebelum lampu merah, perempuan itu dulu menunjuk sebuah kedai kecil di seberang jalan sana, dan berbisik mesra.
“Aku akan membelikanmu es krim terenak sedunia, yang tak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu!” katanya diikuti tawa. Marichka selalu spontan dan ceria.
Tak salah, itulah es krim terenak sedunia, Oleksiy meyakininya hingga sekarang. Seusai makan es krim dengan porsi yang lebih mirip takaran makan malam, Oleksiy merasakan genggaman tangan pujaan hatinya yang menatapnya mesra dan berbicara pelan dengan wajah penuh kesungguhan.
“Oleksiy sayang, banyak hal yang aku tahu, tapi kau paham tak bisa kuungkapkan. Besok, sesuatu yang besar mungkin bakal terjadi. Jika kita selamat melewati masa kejam ini, suatu saat aku akan memberimu lagi es krim dengan porsi yang sama. Oh, tidak, mungkin porsimu akan kutambahi lagi. Kita akan berjumpa lagi di sini,” katanya. Tak ada sedikitpun raut bercanda, tak seperti biasanya. Oleksiy sudah lama tahu informasi ‘yang tak bisa diungkapkan’ itu, tapi ia tak menjawab apa-apa. Ia menikmati binar mata yang seperti mutiara.
Malam itu, Marichka mengajak Oleksiy menginap di rumah kontrakannya yang mungil tapi nyaman. Mereka menghabiskan malam dengan segenap rasa, lalu lelap berpelukan hingga fajar menjelang. Saat itulah suara dentuman pertama terdengar memekakkan telinga.
Saat serbuan berhenti di sore hari dan semua kekacauan mereda, sebagian bangunan sudah porak poranda, api berkobar-kobar dan puing-puing berserakan di mana-mana. Mayat bergelimpangan, sipil dan tentara, tapi pasukan musuh sudah raib begitu saja. Gedung markas tempat Oleksiy dan Marichka bekerja hancur parah dan terbakar, banyak korban tak dapat dikenali atau ditemukan.
Penyerbuan itu berlangsung berjam-jam ke beberapa wilayah kota, tapi Oleksiy punya keyakinan, markasnya yang jadi tujuan utama. Serbuan itu aksi pembukaan dan penjemputan saja. Sejak saat itu Oleksiy tak pernah berjumpa lagi dengan Marichka. Hatinya hancur, tapi harus memusatkan perhatian pada pertempuran demi pertempuran yang akhirnya datang melanda. Tak lama, beberapa kota di perbatasan mulai jatuh, dan pendudukan memaksa paukannya mundur hingga ke ibukota. Sepuluh bulan kemudian, tiba-tiba saja seseorang mengirimkan bayi mungil ke rumahnya, dengan sepucuk surat untuknya. Oleksiy sangat mengenali tulisan itu, yang dimulai dengan “Oleksiy sayang”.
Demi hidup Oleksiy, Marichka sepakat dijemput mereka. Lalu ia memohon agar anaknya dikirim pada ayahnya, demi kesediaannya bekerja sama. Ia tahu banyak hal yang dibutuhkan oleh mereka. Mereka butuh semua informasi untuk menyelesaikan perang yang ternyata tak pernah selesai, hingga akhirnya semua rakyat kelelahan dan memaksa pemerintahan mereka berhenti dan menghentikan pertempuran.
“Dulu, di sini ada toko es kirim terenak,” ucap Oleksiy sambil melirik ke kiri-kanan, bersiap menyeberang lagi. Grigory ikut-ikutan menengok ke sana kemari.
“Sekarang juga ada, Papa. Toko itu sepertinya baru, lihat! Warna-warni, bagus sekali,” tangan Grigory menunjuk ke seberang sana.
Perlu sedikit waktu buat Oleksiy untuk menatap ke arah yang ditunjuk oleh anaknya. Ia memegangi kacamatanya, menggeser-gesernya seolah mencari pandangan terbaik. Saat ia melihat toko itu, ia segera membuka mulutnya, tapi tak bersuara.
“O miy pane,” bisiknya kemudian dengan mata mulai berkaca-kaca.
No comments:
Post a Comment