Meski tak suka menunjukkan muka atau terlihat secara terbuka, Andra selalu berusaha mengelola sebaik-baiknya media sosial tentang kota kecilnya, agar bisa ikut memberi warna. Semakin hari, semakin banyak orang yang mengikuti akun yang dikelolanya. Sejak kuliah, ia memang aktif menggeluti dunia maya, dari mulai iseng saja hingga akhirnya memiliki puluhan ribu pengikut setia.
Melalui medsos itulah Andra membagikan berbagai macam berita, menyuguhkan kenyataan manis-pahit kotanya, mengajak membangun harapan, atau kadang mewaspadai hal-hal yang sekira berbahaya. Tentu saja, tak semua dilewatinya dengan mulus-mulus saja. Kadang ada saja masalah yang timbul, meskipun ia selalu berusaha menghindarinya.
Namun, tanggapan dari seorang follower yang masuk ke kotak pesannya sore itu membuatnya benar-benar gundah gulana. Tiba-tiba saja pikirannya terasa kecewa, sedih, dan sekaligus kesal juga.
“Kalau bisa jangan posting hewan-hewan seperti itu, di kota kita ini mayoritas muslim, dan sangat disayangkan kalau tempat duduk dan jalanan penuh dengan najis dari hewan tersebut. Ditambah nantinya akan tambah banyak hewan yang dibawa ke taman atau tempat umum lainnya. Semoga admin semakin bijak dalam memosting sesuatu,” bunyi pesan itu.
Sebelumnya, Andra menyiarkan ulang kiriman story dari salah seorang warga kota. Seorang cici yang kerap berkontribusi pada Andra tersebut mengirim video dirin;ya sedang membawa anjing kesayangannya ke taman kota.
Astaga, jadi repost postingan itu tak bijak rupanya, keluh Andra di dalam hatinya. Keluhan itu seperti balon yang memuai karena panas, dan semakin siap untuk meletus pada saatnya. Akhirnya, tak biasanya Andra membalas pesan itu dengan jawaban yang cukup panjang. Padahal, awalnya ia berusaha menahan diri saja.
“Bijak itu adalah ketika mau menerima bahwa se-mayoritas apapun warga di kota kita, tetap ada keragaman di dalamnya. Cara melihat, memikirkan, dan memanfaatkan fasilitas publik pun berbeda-beda. Bijak itu ketika menemukan kenyataan seperti ini bukan lantas mencoba menyetop berita. Bijak itu adalah menerima kenyataan apa adanya lalu menyikapi dengan penuh kasih sayang kepada seluruh manusia. Coba bayangkan, jika sedang berada di negara barat yang (misal) banyak rumah punya anjing peliharaannya, sering diajak jalan-jalan oleh tuannya ke taman terbuka, apakah lantas seorang muslim harus mengurung saja dirinya di dalam rumahnya? Apakah anjing auto diasosiasikan dengan najis saja? Kenapa tidak dengan penghuni surga, seperti pada kisah pada kitab-Nya?” tulis Andra dalam jawabannya.
Pada akunnya, si pengirim pesan menunjukkan diri sebagai anggota partai, merangkap seorang coach pelatihan dan motivator. Andra memikirkan kata ‘bijak’ dengan kening mengernyit, seolah baru mendengar kata tersebut siang ini.
Sebenarnya, ada suatu masa ketika Andra bergidik jijik dan ngeri kalau bertemu dengan hewan yang satu itu. Bukan soal liurnya saja yang membuatnya selalu berusaha menghindar, tetapi juga kenangan masa kecilnya. Ia pernah ditabrak seekor anjing sewaktu masih usia TK, dan kaki kanannya terpaksa harus dibetulkan oleh seorang kiai merangkap ‘bengkel tulang’ dari desa tetangga.
Pandangannya berubah saat berjumpa dengan Nadia, perempuan yang rasa sayangnya pada binatang begitu luar biasa. “Hewan saja aku sayangi, Ndra, apalagi kamu, pastinya,” ucap Nadia disusul derai tawa, pada suatu ketika di sebuah kafe pecinta kucing, saat Andra sedang mengunjungi ibukota. Nadia tinggal di sana.
Saat Andra bergidik ngeri, melihat seekor anjing besar sedang berjalan-jalan bersama tuannya di taman kota, Nadia malah sebaliknya. Ia tampak senang melihat hewan itu melintas.
“Kenapa sih banyak yang punya pikiran negatif sama anjing? Bahkan marah pun memaki dengan kata anjing. 'Kan anjingnya nggak salah apa-apa, ya 'kan? Anjing itu lucu,” gerutu perempuan itu sambil mengikuti langkah-langkah anjing dengan sorot matanya.
Perlu waktu satu tahun untuk membuat Andra sadar bahwa pikirannya sudah berubah dalam melihat satwa, semata-mata karena bola mata Nadia. Pandangan Nadia yang teduh itulah yang membuat hati Andra luluh. Sorot mata yang tak pernah membuatnya takut, meski konon sedang melotot karena kesal. Pun suara Nadia, begitu magis, membuat Andra sepakat tanpa berdebat. Debat tak pernah terjadi, karena wajah Nadia selalu saja tiba-tiba sudah begitu dekat, dan selalu membuat Andra tercekat.
Ah, Nadia. Aku bereaksi seperti ini karena anjingkah, atau karena kamu? Kalau kamu masih di sini, pasti aku bisa menjawab dengan lebih mantap. O iya, lebih bijak. Sayangnya, kamu sudah tak di sini. Andra menepis gerutuan di dalam batinnya. Berkali-kali. Namun, bayang senyuman itu tak juga pergi.
SI Pengirim pesan membalas lagi, berusaha menjelaskan maksudnya, mencoba berkelit bahwa tak berniat mengatur-atur atau melarang Andra dalam mengelola akunnya. Ia akhirnya meminta maaf, dan mengakui bahwa makna kata ‘bijak’ mungkin berbeda pada setiap orang yang mengucapkannya.
“Tidak apa-apa. Terima kasih sudah memberi tanggapan,” jawab Andra. Ia tak ingin menghabiskan energi terlalu lama.
“Kesamaan niat tak selalu jadi kebersamaan, dan perbedaan pun tak harus selalu menjadi keburukan. Bahkan di saat berdiri berseberangan pun, kita masih bisa saling melambaikan tangan,” jawab Andra. Terasa perih, meski yang terbayang di benaknya tetaplah sebuah senyuman indah.
No comments:
Post a Comment