Setelah melewati beberapa waktu lamanya, akhirnya Asep memutuskan untuk melupakan Esih, kekasihnya dari kampung sebelah, yang pergi entah ke mana. Kepergian itu terasa mendadak dan menyesakkan dada, tapi Asep akhirnya memilih berdamai dengan waktu.
Hari demi hari dilaluinya dengan mengiris sedikit demi sedikit gumpalan rasa kecewa dan penyesalan di dalam hatinya. Asep tak menyangka permintaan Esih untuk segera menemui orang tuanya, ternyata lebih serius dari yang diduganya.
Asep sudah memberikan segalanya. Perhatian, harta, tenaga, dan semuanya untuk Esih, selama mereka bersama. Bagaimana tidak, selama ini ia selalu berpikir nasibnya bagai si pungguk merindukan bulan. Maka ketika suatu hari tiba-tiba Esih membuka hatinya, Asep seperti si pungguk tertimpa bulan.
"Kamu bermimpi terlalu tinggi, Sep!" kawannya, Ujang, mencoba menasihati, "kita teh harus sadar diri, kita siapa mereka siapa."
Orang tua Asep memang tak pernah bicara apa-apa, karena mereka tahu sifat anaknya yang keras dan lugu. Jika sudah ada keinginan, pasti diperjuangkan Asep sekuat tenaga, sampai habis batasnya. Namun, jelas sekali emak dan bapaknya sangat kuatir, sebab Esih adalah anak Juragan Odoy, orang terkaya di desa, pemilik usaha sayur-mayur terbesar di kaki Gunung Sabeulah.
Setelah menjalani hubungan seumur jagung yang penuh bunga asmara, akhirnya Asep kembali termenung sendirian di saung, di tengah-tengah kebun sayurnya yang hanya sepetak kecil di kaki bukit. Ia memikirkan usianya yang sudah 29 tahun, sendirian, dan tanpa harapan membahana lagi, seusai ditinggal Esih yang raib entah ke mana. Esih pergi tanpa kabar apa-apa, dan keluarganya begitu kompak tak bersuara.
Pikiran yang buntu, rasa malu, dan putus asa, menggerakkan kaki Asep begitu saja ke arah lembah, mendekati suara bergemuruh yang sejak kecil selalu memanggilnya. Gemuruh itu berasal dari Curug Kamuning, air terjun tempat Asep dan kawan-kawannya biasa bermain berlama-lama.
Asep pernah bercerita pada Esih—gadis itu tampak tak sabar mendengarkannya—tentang mimpinya mengajak para pemuda kampung mengelola Curug Cikamuning agar jadi obyek wisata yang dikenal dunia. Di sini segalanya ada, kurang apa? Seusai menikmati pemandangan hamparan kebun sayur yang luas, para pengunjung akan dimanjakan dengan segarnya air terjun yang istimewa.
"Di sini, kita bakal bikin pagar bambu yang rapi dan bagus, biar pengunjung lebih aman saat menikmati pemandangan luar biasa ini," ucap Asep suatu saat, di atas tebing yang tinggi, sambil menunjuk ke arah Curug Kamuning yang indah.
Siang ini, Curug Kamuning tak mengajak Asep bermain. Gemuruhnya terdengar aneh di telinga, seperti menangis dan mengajak Asep datang padanya. Ke sini, Sep, kami mengerti kepedihanmu ....
Kaki Asep sudah ada di ujung bibir tebing, ketika tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari jalan setapak di belakangnya. Mungkin petani yang akan mengambil air untuk membuat nasi liwet di ladang, atau hanya pelintas yang sedang menuju kebun yang lain.
Tapi suara orang yang sedang bercakap-cakap itu lalu terdengar jelas oleh Asep, dan ia segera mengenalinya. Asep segera menyembunyikan diri di balik pohon beringin besar di bibir jurang.
Tak lama, mereka tiba. Kedua orang yang sedang berjalan menanjak itu tampak berkeringat, apalagi laki-laki paruh baya bertubuh gendut yang tampak kesusahan melangkahkan kakinya.
Apa yang dilakukan Juragan Odoy dan istrinya di sini? Hati Asep penuh tanda tanya. Ia sudah pernah menanyakan keberadaan Esih pada sepasang suami-istri itu, tapi mereka hanya menatapnya dengan wajah tak acuh. "Kamu teh, kenapa atuh kemarin tidak jelas bersikap," ucap istri Juragan Odoy saat itu, malah menyalahkannya.
Penyesalan Asep adalah karena ia tak menyanggupi menikahi Esih bulan itu juga, karena ingin menunggu dulu hasil panen sayur di bulan depan. Esih hanya diam, tapi ternyata sejak itu tak pernah lagi mau menampakkan mukanya. Esih menghilang dan Asep merasa itu salahnya, sebab Esih mengaku akan dijodohkan jika Asep tak meminangnya segera. Asep akhirnya merasa semua kesalahan bertumpu padanya.
"Berhenti dulu, Abah. Ambu capek!" teriak istri Juragan Odoy, suaranya cempreng dan keras.
"Abah juga capek, Ambu," suaminya langsung menjatuhkan diri, duduk dengan muka memerah dan napas terengah-engah.
"Aiiir... eh iya, Ambu lupa tidak bawa air minum. Biasanya mah si Esih yang bawa, ya Bah?" suara perempuan itu terdengar murung.
"Sudah, jangan disebut-sebut lagi, Ambu! Biar si Esih mah sudah tidak ada. Masih untung keluarga si Perdi akhirnya mau tanggung jawab! Kata Abah juga, 'Esih... hati-hati gaul sama anak kota!', tapi si Esih mah keukeuh tidak mau mendengar. Akhirnya begini kan?" nada suara Juragan Odoy begitu emosional saat bicara.
"Iya, Abah, ... bulan besok mungkin sudah lahiran...," jawab istrinya, setengah terisak.
Asep tersentak. Esih melahirkan? Nama yang tadi disebut itu juga tak asing baginya, dulu pernah sebulan ber-KKN di desanya. Esih hamil? Perdi?
Gemuruh air terjun tak lagi terdengar di telinga Asep, berganti gemuruh yang lebih keras di dadanya. Berdentum-dentum, hendak meledak. Asep merasakan rasa bersalah dan keputusasaannya berubah menjadi luapan amarah dan kebencian.
Saat itulah, batu di bibir jurang yang diinjaknya, tiba-tiba bergerak dan meluncur tak terduga.
Cerita menghilangnya Asep dan Esih, berbulan-bulan kemudian perlahan-lahan tak terdengar lagi dan mulai dilupakan. Sesekali hanya disebut kalau ada anak kota datang untuk KKN atau pelesiran.
No comments:
Post a Comment