Apakah kau tahu apa yang sekarang ada di dalam pikiranku, saat melihat jalan panjang dan lurus ini? Aku teringat dirimu yang duduk di sampingku, menyandarkan kepalamu di bahuku. Aku masih bisa mencium harum rambutmu kala itu. Kau yang terlalu lelah untuk bercerita, hampir separuh perjalanan hanya terlelap dengan wajah yang agak memerah.
Perjalanan kita memang hanya beberapa saat saja di waktu senja, tetapi kenangannya terpatri di dalam ingatanku untuk selamanya. Meskipun aku berusaha keras untuk melupakan pengalaman indah itu, nyatanya percuma saja. Aku mengingat setiap helaan napas yang kau hembuskan di bahuku. Aku masih merasakan jemarimu menggenggam erat lenganku seakan tak mau kebersamaan itu direnggut waktu.
Padahal, saat itu aku sebenarnya tersiksa oleh debaran keras di dalam dadaku. Irama aneka rasa bertabuh-tabuh tak ada hentinya sepanjang jalan menjauhi ibukota. Ya, aku memang amat bahagia bisa sedekat itu denganmu, tapi juga cemas dan bingung tak menentu. Belum pernah aku sepanik itu, dan tak tahu harus berbuat apa bersamamu. Dengan tegang, kulihat jalan lurus di depan, dan berkali-kali menoleh ke belakang penuh kekuatiran. Aku yakin para pengejar pasti sedang memburumu tanpa henti dengan gusar.
Yang tak pernah kuperhitungkan, bapak tua yang ramah dan menawarkan tumpangan itu ternyata mengenali kecantikan dan keagunganmu. Meski kau berusaha tampil sederhana, wajahmu bukanlah pemandangan biasa. Sedikit simbol yang tersisa pada penampilanmu, juga terbaca sebagai milik kalangan istimewa.
Aku yang juga kelelahan, ikut tertunduk karena kantuk. Hanya beberapa saat saja kita sama-sama terlelap, karena tiba-tiba dibangunkan suara orang membentak. Kau berusaha teriak, tapi tak ada gunanya. Tubuhmu segera dilumpuhkan beberapa orang tegap. Aku merasakan hantaman keras di kepalaku, lalu dunia tiba-tiba menjadi gelap gulita.
Beberapa bulan yang lalu, tiba-tiba aku tersadar dari tidur panjangku. Setiap kali aku menjalani rutinitas naik bus untuk pulang dari ibukota dan kembali ke desa, perlahan-lahan ingatan itu semakin terasa nyata. Ingatan saat kita berdua berusaha meninggalkan ibukota.
“Kamu tuh, kenapa sih nggak pakai kereta aja?” temanku sekantor pernah bertanya. Ia heran karena aku selalu memilih memakai bus daripada kereta. Tak perlu kujelaskan, tentunya, bahwa aku selalu merasakan kehadiranmu saat duduk di dalam bus antarkota. Aku seakan harus duduk di sana, untuk suatu alasan yang aku pun masih bertanya-tanya.
Terlebih, kini kutahu kisahmu begitu menyedihkan usai kita terpisah dulu. Tadinya sempat terpikir, kau pastilah bersanding bahagia dan menjalani kehidupan mulia bersama pria terbaik pilihan orang tua. Nyatanya, kisah hidupmu adalah pengorbanan tragis yang perih dan menjadi ironi sepanjang masa. Kecantikan dan kebaikan hatimu menjadi tumbal arogansi dan gila kuasa.
Apakah karena kau memilih jalanmu yang begitu berani karena tak suka perjodohan itu dianggap penyerahan diri dan penghinaan terhadap martabat keluarga? Apakah karena, “Andai kita bisa berlari saja, meninggalkan ibukota yang penuh dusta, lalu kita hidup sederhana saja di sebuah desa, karena kita saling mencinta”?
Tak pernah ada satu hari pun yang tak kusesali karena aku yang begitu tergila-gila berkarya, melukiskan raut wajahmu dengan sepenuh rasa. Lewat lukisan, aku mencurahkan perasaanku padamu, sebab aku tak mungkin berkata-kata. Sayangnya, lukisan kecantikanmu malah mejadi awal bencana.
Penyesalanku, kesedihanku, keputusasaaku. Aku tak bisa larut untuk terus memikirkannya. Namun, kurasakan ada suatu keyakinan makin kuat membaja di dalam dada. Semakin ke sini, setiap aku duduk di kursi bus antarkota, debaran aneh yang dulu pernah ada pun kian kerap terasa.
“Permisi, Kak. Saya duduk di sini.”
Lamunanku buyar. Suara yang menyapaku itu, rasanya tak asing di telinga. Wajah perempuan berbaju pink dan bercelana jins, dengan rambut panjang diikat bandana berwarna merah tua, tiba-tiba hadir di lorong bus sambil memandangku, memamerkan senyumnya yang mempesona. Aku tercekat, tak mampu berkata-kata. Dadaku bergemuruh seperti hendak pecah rasanya.
“Maksud saya, kursi saya di dekat jendela, Kak,” dia berucap lagi. Aku tergagap-gagap meminta maaf, lalu berdiri mempersilakan dia menempati kursinya. Aku kembali duduk di sampingnya, dan menjawab ucapan, “makasih, Kak” darinya hanya dengan anggukan saja.
Aku dan dia lalu saling berdiam lama. Aku menahan kecamuk rasa yang terasa sudah berabad-abad lamanya, sementara dia tampak asyik membaca bukunya. Hanya separuh perjalanan saja dia membaca bukunya. Usai itu, dia tertidur dengan tanpa sungkan menyandarkan kepalanya. Aku mencium wangi rambutnya, mendengar hembus napasnya. Tiba-tiba dunia seolah menjadi hampa dan sunyi tanpa suara. Tak ada apa-apa, selain harum dirinya dan suara napasnya.
Astaga, aku pasti sudah gila! Itulah kesimpulan akhir yang kudapatkan, saat bus hampir mendekati tujuan. Bangun, bangun! Aku harus mengumpulkan kesadaran dan kenormalan, sebab sejam dari sekarang seorang ibu yang penuh cinta akan bertanya, “kapan kamu bawa seseorang ke sini, nak? Usiamu sudah dewasa! Ibu malu sama tetangga sedesa ....” Bla-bla-bla.
Tampaknya pertanyaan Ibu itulah sebenarnya yang membuat otakku semakin tak beres saja.
“Masih sering melukis, Kak?”
No comments:
Post a Comment