• Cek Yuk!

    01 January 2024

    Rin


    Hari sudah memasuki pagi kedua Januari. Pertengahan malam baru saja lewat dengan lambat, mengantarkan Ben pada kenyataan bahwa rasa kantuknya sebenarnya sudah sangat berat. Ia sudah menguap beberapa kali, sebelum beranjak ke meja kerjanya lagi. Niat untuk segera merebahkan diri dan terlelap, terpaksa ditunda demi tekadnya yang belum tuntas.

    “Mulai tahun baru ini, aku akan rajin lagi menulis, Rin,” ucapnya dengan sungguh-sungguh di telepon, saat suara halus itu menanyakan kabar tulisannya yang kini tak pernah terbit lagi. Meski tak ingin membuat alasan, ia terpaksa bercerita bagaimana dirinya begitu sulit menulis akhir-akhir ini.

    “Sebagai fans, aku senang sekali kalau bisa membaca tulisanmu lagi, Ben,” ucapan Rin seperti biasa selalu terdengar tulus dan renyah, meski terasa tak seyakin dulu. Dua tahun lalu, saat baru kenal, lalu akhirnya menjadi dekat dengan perempuan itu, Ben selalu mendengar ucapan yang lebih riang dan antusias.

    “Aku senang …, tapi tak mau terlalu berharap,” imbuh Rin, diakhiri tawa kecilnya yang khas.

    Ah, betapa rindunya aku mendengar tawamu, Rin. Dulu, kalau kudengar tawa itu, lenyaplah semua rasa susahku. Asalkan kamu tertawa lucu seperti itu, apalagi jika matamu memejam, pikiranku akan melambung, hatiku tiba-tiba girang bukan main, dan langkah-langkah kakiku akan terasa ringan.

    Ben berbicara dengan dirinya sendiri, seperti biasanya, menyesali berbagai hal yang sekarang begitu jarang ia temukan. Bukan hanya percakapan, senyum, dan candaan, tapi rasa hangat yang makin samar ia rasakan. Bukannya tak ada, ia tahu kehangatan itu tak akan pernah hilang. Namun, kini seolah tercipta jarak yang perlahan semakin terasa, meskipun dirinya dan Rin selalu sepakat itu tak nyata. Jarak itu bermula dari pikiran.

    Ben selalu berpikir bahwa sesudah malam, hari esok tak akan jauh berbeda dari pengulangan yang terus berlanjut, dalam irama yang nyaris tanpa perubahan. Ia melihat jalan kehidupan seperti garis yang membosankan, kumpulan gerak-gerik yang sudah ditetapkan, dan harus selalu dijalani dengan keikhlasan. Sementara itu, kebahagiaan adalah letup-letup kecil yang terlalu mewah untuk dia dapatkan secara berkelanjutan. Hidup baginya adalah pengabdian dan rutinitas yang selalu berulang.

    “Kamu sangat berhak, dan harus bahagia, Ben,” suatu saat Rin pernah mendorongnya seperti itu. Ben hanya tertawa kecil, sejujurnya tak yakin dengan kalimat itu. Namun, esok harinya ia tiba-tiba mendapat energi untuk merangkai kata-kata dan menulis kisah seperti dulu, suatu kesukaan yang sudah terlalu lama ia tinggalkan.

    Saat cerita pertamanya terbit, Rin—dalam pengakuannya pada Ben—menangis. Disanjungnya Ben dengan menyebut cerita itu begitu dalam dan menyentuh perasaan. Diam-diam Ben mengeluh dalam hati, khawatir cerita yang ditulisnya lebih padan curahan hati yang disisipkan dengan terlalu kasar dan mudah dimengerti.

    “Itu cerita sederhana saja, nggak ada istimewanya, Rin,” jawab Ben sembari menahan girang, “banyak juga typo-nya ternyata, masih kutemukan.”

    Tidak, tidak, itu sudah bagus banget. Rin terus membesarkan hatinya, terdengar sangat tulus dan penuh harapan. Ben tak menampik, hatinya gembira bukan alang kepalang. Sesungguhnya, kebahagiaan dari tulisan-tulisannya bukan hanya karena ia bisa mencurahkan perasaan dan imaji yang terkekang, tetapi lebih karena setiap kali pujian Rin datang maka hatinya seolah terisi ulang. Beban batin yang sering dirasakannya tiba-tiba hilang dan perasaannya menjadi ringan.

    Hingga akhirnya, seperti yang ia khawatirkan, semangatnya mengalami keruntuhan kembali sebagai pengulangan. Kehidupan adalah pengulangan-pengulangan, dan kejatuhan adalah bagian yang harus ia terima sebagai bagian tak terpisahkan. Ia mulai merasakan bahwa tulisan-tulisannya sudah tak lagi mampu menjelaskan, apatah lagi meluahkan harapan atau keresahan.

    “Bukannya aku tak rindu…,” bisiknya lirih pada suatu waktu, saat melihat bayangan Rin melintas di seberang jalan. Ia tahu itu mungkin hanya ilusi, sebab ia memikirkan perempuan itu siang dan malam. Ia sering melihat Rin di berbagai tempat, tapi semakin tak berani menyapa atau menampakkan diri, meski hanya untuk memberi senyuman. Jika rasa rindunya begitu membebani jiwa, Rin hadir dalam sekilas mimpi yang membingungkan dirinya saat tiba-tiba terjaga.

    Menjelang akhir tahun, dua minggu lalu, tiba-tiba saja ia bermimpi lagi. “Aku bukan tak ingin menemanimu lagi, Ben. Kali ini aku benar-benar harus pergi,” ucap Rin dalam mimpi itu. Ben merasa sangat lemas saat terbangun. Benarkah ini akhir kebersamaan yang indah denganmu? Pergi ke mana, Rin? Kenapa tak ada penjelasan? Oh, iya, bukan tak ada penjelasan, tapi aku yang tak pernah lagi berbicara berlama-lama denganmu, Rin.

    Diputuskannya untuk segera menemui Rin, mempercepat rencana yang sudah terpendam berbulan-bulan. Seharusnya, besok ia bakal menemui senyum manis perempuan itu di tempat kerjanya yang nyaman dan rindang. Ya, bangunan gedung itu selalu menyejukkan hati Ben hanya dengan membayangkannya saja. Dari hotel tempatnya menginap malam ini, Ben tinggal berjalan beberapa menit saja untuk menyapa Rin.

    Ben mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu terbatuk-batuk dengan dada nyeri dan sesak. “Kamu harus berhenti merokok, Ben! Bandel amat siih? Rokok bisa membunuhmu!” Rin sering protes seperti itu. Namun, wajah perempuan itu yang terlalu imut, suaranya yang halus dan manja, tak pernah berhasil menjadi sebuah perintah yang membuat Ben berubah. Yang dirasakan Ben adalah, ia ketagihan mendengar protes itu. Ia merasa bersalah, tapi juga merasa tak berdaya. Kalau kamu tak ada, Rin, rokok inilah teman setiaku.

    Cerita yang sedang ditulisnya di teras hotel malam ini masih menggantung. Ben mulai merasakan hawa pegunungan makin menusuk-nusuk kulitnya, meski ia sudah memakai jaket dan syal. Pikirannya sedang berusaha keras mencari cara mengakhiri cerita yang sedang disusunnya, ketika suara langkah kaki mengalihkan perhatiannya.

    “Selamat malam, Pak. Waah, belum tidur? Maaf saya mengganggu, pengecekan rutin, Pak,” petugas jaga malam hotel yang sudah tampak berumur itu ramah menyapa, sambil sedikit membungkukkan badan padanya. Ben segera bangkit dan tersenyum, tangannya memberi isyarat tak apa, lalu menghampiri lelaki tua itu.

    Nggak ganggu, Pak. Malah kebetulan, saya jadi bisa bertanya. Museum yang di ujung jalan itu Pak, yang di atas bukit, besok buka jam berapa ya, Pak?” tanya Ben.

    “Bapak mau apa ke situ, Pak?” petugas jaga itu terlihat heran.

    “Cuma mau berkunjung saja, Pak, sekalian menemui teman saya, mbak yang bertugas di sana. Orangnya putih, rambutnya panjang, baik dan ramah. Dua tahun lalu saya kenalan di situ, dia yang mengantar saya berkeliling museum. Pengetahuannya soal museum itu luar biasa, bikin saya bengong, Pak. Sayangnya, saya tinggal jauh dari sini, dan baru sekarang bisa berkunjung lagi, Pak. Kenal ya dengan mbak ….”

    “Rin?”

    Ben senang bukan main, hanya dengan mendengar nama itu disebut orang di hadapannya. Pak petugas jaga sepertinya warga lokal, wajar dengan usianya dapat mengenal semua orang di kawasan ini.

    “Pak, kita duduk saja dulu, ya,” wajah pria tua itu sangat bersungguh-sungguh. Ben setuju, mungkin bapak tua itu lelah sehabis keliling area hotel. Ia mempersilakan petugas jaga hotel itu duduk di kursi teras di dekatnya.

    “Pak…,” suara pria itu tercekat, tampak ragu memulai ucapannya.

    “Ya, Pak. Kenal Rin ya, Pak?” Melihat raut muka bapak tua itu, Ben mulai tak enak perasaan. Rin sudah pindah kerjakah? Pagi ini ia tak akan berjumpa dengannya? Ben sudah merencanakan kunjungan kejutan ini berbulan-bulan.

    “Pak, museum itu ... sudah tutup sejak lima tahun yang lalu.”

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi