• Cek Yuk!

    05 January 2024

    Tanya yang Tertunda


    Mukhlis sudah bersiap-siap berangkat jumatan sejak pukul 11.00 WIB. Senyampang tak ada jadwal ke kampus hari ini, ia lebih leluasa untuk mengatur kegiatannya. Karenanya, salat Jumat kali ini ia akan datang lebih awal dan duduk di saf depan Masjid Al-Imam, suatu kebiasaan yang akhir-akhir ini banyak ditinggalkannya karena lebih banyak jumatan di masjid kampus.

    Meskipun khatib salat Jumat di masjid ini, menurut Mukhlis, gaya berceramah dan isi khutbahnya ‘begitu-begitu saja’, datar dan lebih banyak seperti orang membaca teks saja, tak seperti para penceramah di kampusnya yang lebih dalam dan berwawasan, tetapi ada suasana khas yang tak tergantikan.

    Mukhlis suka, dan selalu menikmati, suasana jumatan di masjid ini. Ia sudah kadung merasa lekat dengan rumah suci ini, perasaan yang timbul sejak ia banyak terlibat kegiatan remaja masjid, dimulai saat memasuki usia SMP. Perasaan cintanya pada masjid ini sudah terpatri lama.

    Maka ia menikmati suasana ketika para jamaah mulai menempati saf-saf yang tertata rapi, di atas karpet hijau bersih dan wangi yang sudah disiapkan pak merbot sejak bakda subuh.

    Khatib jumat sudah selesai membaca pembukaan khutbah jumat, dan ketika itulah Mukhlis mulai tertarik dengan isi ceramahnya.

    “Tahun baru ini harapan baru, tapi kita cukup bersedih karena negeri kita masih belum baik-baik saja. Bayangkan, peringkat korupsi kita saja ke-5 terburuk di dunia,” ucap khatib.

    Mukhlis terperangah.

    “Padahal, negeri kita ini amat kaya,” lanjut sang khatib, Mukhlis semakin memusatkan perhatiannya, “jika kekayaan tambang kita dikelola dengan baik, maka setiap satu kepala, sekali lagi setiap satu kepala penduduk negeri ini, bisa digaji 20 juta rupiah tiap bulannya.”

    Mukhlis teringat materi kajian kelompok diskusinya yang berisi para mahasiswa aktivis kampus. Saat itu ucapan ketua komisi anti rasuah menjadi topik hangat obrolan senja.

    Khatib melanjutkan ceramah dengan mengungkapkan berbagai kutipan dan berita yang membuat Mukhlis langsung berpikir keras tentang data-data sumbernya. Sebagian informasi itu bisa jadi benar, tapi beberapa di antaranya sungguh menjadi tanda tanya.

    Mukhlis bertanya-tanya apakah jamaah lain juga sama berpikir seperti dirinya. Dilihatnya, bapak-bapak di sampingnya sudah asyik tertidur dalam duduknya, sementara anak-anak kecil di belakang tak juga kapok diperingatkan orang dewasa untuk berhenti bercanda. Jamaah lain susah ditebak bagaimana reaksinya, sepertinya tenang-tenang saja.

    “Mari kita pastikan, para pemimpin yang terpilih nanti bukan mereka yang hanya mengusung ambisi sesaat, yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya sendiri….”

    Mukhlis bersetuju dengan ucapan itu, tetapi terus memikirkan beberapa data dan kutipan yang disampaikan pak khatib itu sebelumnya, yang tak juga diingatnya berasal dari mana. Ia khawatir beberapa angka dan kutipan kata-kata telah tertukar dari siapa dan dari mana sumbernya, atau diragukan validitasnya.

    Seusai jumatan, Mukhlis yang penuh kegelisahan berniat menemui Pak Haji, Mukhlis biasa menyebutnya demikian saja, ketua takmir masjid yang sudah kenal baik selama ini. Ia berharap bisa menyampaikan unek-uneknya.

    “Assalaamualaikum,” ucapnya saat mendorong pintu kantor takmir, dijawab suara berat Pak Haji yang tampak sedang duduk di kursi sambil mengamati angka penerimaan infaq, kegiatan rutinnya seusai setiap jumatan.

    “Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh. Wah, kamu … duduk dulu ya nak, saya lanjutkan dulu hitungan ini,” jawab Pak Haji ramah. Usai bersalaman, Mukhlis duduk menunggu Pak Haji selesai dengan catatannya.

    Pak Haji orang yang sangat baik, keikhlasannya dalam mengelola masjid tak pernah diragukan semua orang. Ia sudah memberikan banyak waktu, tenaga dan biaya untuk memakmurkan masjid yang tanahnya juga berasal dari wakaf leluhurnya. “Alhamdulillah, selesai. Ada apa, Lis? Bapak ibu sama mbah kakung sehat-sehat aja kan?”

    Mukhlis selalu kagum, Pak Haji selalu menanyakan kabar keluarganya. Padahal sebenarnya mungkin orang tua itu sudah tahu kabar siapa pun di sekeliling masjidnya, sebab ia sangat rajin bersilaturahmi ke siapa saja.

    “Baik-baik, Pak, terima kasih. Kalau boleh saya…,” ucapan Mukhlis hanya sampai di sana. Pintu kantor takmir kembali didorong orang dari luar, menjadi semakin lebar terbuka, dan muncullah sosok pak khatib yang tadi mengisi khutbah, menampilkan senyum lebarnya. Berbaju putih bersih, berjenggot panjang yang sebagiannya sudah memutih, orang tersebut berdiri di luar ruangan. Tanda hitam di jidatnya semakin terlihat jelas oleh Mukhlis, saat berada orang tersebut berada di jarak yang lebih dekat.

    “Masya Allah, Ustaz, masuk … silakan masuk!” Pak Haji langsung berdiri dan bergegas menghampiri tamunya. Setelah berjabat tangan, ia menggandeng tangan ustaz tersebut dan dipersilakannya untuk duduk di samping Mukhlis yang juga segera ikut berdiri.

    Mukhlis bahkan tak duduk lagi, segera pamitan dan memutuskan pulang. Pertanyaannya tentang isi khutbah tadi menghilang seperti awan tertiup angin kencang.

    No comments:

    Post a Comment

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

    Inspirasi