• Cek Yuk!

    12 February 2025

    Buku Kesatu


    “Pakeeet!"

    Ah, betapa senangnya. Sabtu yang penuh luapan rasa. Kerinduanku terbalas tuntas pada akhirnya. Setiap kali kuterima paket kiriman buku darimu, perasaan yang sama selalu merasuk ke dalam kalbuku. Perpaduan senang, haru, dan sekaligus bangga. Andai bisa, ingin kuungkapkan rasa senang itu dalam senandung lagu, dengan untaian lirik yang hanya aku dan kamu tahu betapa berartinya.

    Sayang, rasa yang membuncah di dalam batinku itu tak pernah benar-benar tercurah di dalam kata, apalagi nada. Selalu menjadi gemuruh di dalam sunyi, atau keramaian di balik senyap.

    Menikmati alur cerita buku kirimanmu lantas menjadi pengobat gejala kegilaan yang mulai berbahaya. Melintasi halaman demi halaman imaji, kecamuk pikiranku akhirnya teredam dan tenang kembali. Tak hanya itu, batin yang kerap melintasi ruang dan waktu, meloncat-loncat tiada tentu, menjadi damai dan syahdu dengan sendirinya.

    Tak sia-sia, kesabaranku menunggu kirimanmu tiba tepat waktu. Kaujanjikan bahwa buku yang kaupilihkan itu akan datang di ujung minggu.

    “Sengaja kukirim hari Rabu, biar sampai Sabtu. Kuberikan waktu dulu buatmu untuk memikirkan apa yang benar-benar pantas kaulakukan saat buku dariku sampai di genggamanmu,” katamu. Seperti biasa ucapanmu selalu diakhiri dengan tawa kecil di ujung kalimat, membuatku selalu gemas untuk melihat lagi senyum itu.

    “Aku pasti langsung buka dan baca sampai tamat, lah. Mana ada pilihan lain selain itu?” kataku dengan nada yakin.

    “Ah, ‘nggak akan. Bukan itu yang akan kau lakukan!” sergahmu. Terdapat keyakinan lebih dari seratus persen dalam nada bicaramu, seolah mengenalku lebih baik dari diriku sendiri. Ya, sepertinya memang begitu.

    “Oke deh, biar kita lihat nanti, apa yang bakal kulakukan saat membuka buku kirimanmu,” kata-kataku penuh penyerahan diri, sepenuh hati, dan tanpa syarat.

    “Baca sampai tuntas. Ceritakan pendapatmu nanti padaku.”

    “Oke.”

    Begitulah, dan memang selalu begitu. Hanya karena menunggu kiriman buku, hatiku selalu luruh dan tak punya keluh. Buku selalu menjadikanku penurut, asalkan buku darimu.

    Mungkin karena selera bacaan kita plek ketiplek sama. Pernah kutanyakan padamu, “Cerita seperti apa yang menurutmu bagus?”

    “Cerita yang ‘nggak ketebak ujungnya,” jawabmu, tanpa perlu jeda untuk sekadar berpikir dulu. Aku suka cara menjawabmu itu. Kamu memang cerdas dan tak pernah membuatku bosan jika sudah berdiskusi tentang buku.

    “Ah, iya, ya. Cerita yang punya kejutan pasti lebih mengasyikkan!” Sebenarnya, melihat binar matamu saat antusias membicarakan buku, itulah yang paling mengasyikkan.

    Saat kubaca buku itu hampir di halaman-halaman akhir, perasaan aneh mulai menyerangku. Rasa penasaran akan akhir cerita, selalu berlawanan dengan kekhawatiran bahwa sesudah halaman terakhir kubuka, maka gelora untuk membacanya tak bakal lagi ada. Semakin kupaksakan membaca menuju ujungnya, semakin tak ingin untuk melanjutkannya. Aku tak ingin cerita itu berakhir.

    Perasaan yang berlawanan itu terasa menyiksa, lalu biasanya memuncak pada hari Jumat, semakin terasa menyesakkan dada ketika senja tiba. Selama dua tiga hari sebelumnya biasanya aku sudah tak berselera makan, dan tidur pun terganggu juga. Sebagian diriku terus memaksa untuk membaca dan menamatkan cerita, tapi sebagian lainnya menolak keras, semakin keras. Kepalaku pening, terasa berputar-putar.

    Ketika aku sadar bahwa waktu seminggu untuk membaca buku sudah hampir habis, dan aku harus segera menamatkannya untuk dapat menceritakan isinya padamu, saat itulah tiba-tiba kusadari sesuatu.

    Ya, Tuhan, di mana buku itu? Kepanikan melandaku. Kepalaku bertambah pusing, rasanya mau pecah, dadaku berdegup kencang dan napasku sesak.

    “Aku, aku mau minta maaf, ya…,” akhirnya aku hendak jujur saja.

    “Kamu ‘nggak apa-apa? Kok terdengar seperti lagi sakit? Kamu kambuh?”

    Ah, kamu. Tiba-tiba bisa kurasakan kelegaan di dalam dadaku, mendengar pertanyaanmu itu.

    “Iya. Eh, bukan. Ini… ini aku lupa menyimpan buku kirimanmu. Sepertinya besok aku belum siap bercerita tentang isinya padamu,” suaraku hampir tak ada, menahan sesal dan rasa bersalah.

    Tiba-tiba saja tawamu meledak, semerdu suara jatuhnya hujan di penghujung kemarau yang panas.

    “Kamu ituuu, ya. Sudah kubilang, paketnya sengaja kukirimkan hari Rabu, biar sampai di ujung minggu. Sabar, besok paketnya baru datang!”

    Tawamu berderai-derai. Tak berhenti, tak pernah berhenti. Aku bisa membayangkanmu sedang memejamkan mata. Bayangan itu tiba-tiba menyadarkanku, bahwa hidupku masih berlanjut dan kebahagiaanku tak terenggut.

    Yzk, TR, 12022025

    Post Comments

    Bicara Fiksi

    Fiksi Mini

  • Buku Kesatu
  • Perbincangan Seusai Demo pada Suatu Petang
  • Rumah Kecil untuk Pulang
  • Taman Cerita
  • Jalan ke Surau Kakek
  • Inspirasi